Visi

Jalanan sudah agak ramai ketika saya memacu Mitsubishi Minica di 312???????? (jalan nasional khusus kendaraan bermotor jalur 312), hari ini adalah hari pertama kerja.

Tempat parkir di lingkungan pabrik Mandom Fukuzaki sudah agak terisi ketika saya membelokkan mobil mencari tempat yang lowong, beruntung karena deretan parkir khusus ???? (mobil beremisi rendah) masih agak lengang sehingga saya tidak perlu jauh-jauh berputar. 5 menit sebelum jam 8 saya sudah duduk di ruangan kecil di samping kantor administrasi pabrik tempat saya akan bekerja, di samping saya duduk Mizuse-kun dan Takahashi-kun, 2 pegawai baru yang baru saja tamat dari STM Industri Himeji. Kami bertiga menyimak penjelasan dari wakil kepala pabrik.

Saya yang SK-nya ????? (staf administrasi produksi), selama setahun ditugaskan untuk belajar di genba, saya bakal masuk di proses produksi selama 6 bulan, proses finishing 6 bulan. Setelah itu baru masuk ke desk work di bagian quality control, pembiayaan, dan urusan administrasi pabrik masing-masing 4 bulan. Saya mengangguk dan menyimak dengan seksama. Saya insya Allah akan bekerja di lingkungan pabrik ini hingga tahun 2010, dan jika sesuai rencana maka tahun 2010 nanti saya akan pindah ke kantor pusat di Osaka.

Ada perasaan gengsi yang kadang-kadang menyelinap di lubuk hati, dan perasaan gengsi itu menjadi pertanyaan yang seringkali mengganggu, apakah memang saya perlu bekerja di genba untuk mengerti isi dan jiwa pekerjaan? Kalau tidak mengingat janji manajer HRD akan planning masa depan, maka mungkin saya akan langsung protes begitu disuruh masuk genba selama 1 tahun. Memang saya nyaris tidak melakukan pekerjaan secara langsung, seharian saya hanya berdiri, mencatat, dan mencoba memahami proses-proses pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai dan karyawan kontrak di bagian produksi itu, tapi tetap saja saya merasa terganggu oleh kenyataan.

Pada saat-saat perasaan saya mulai terusik itu saya biasanya kembali mengingat pesan instruktur JECC yang mentraining kami selama 3 hari di awal bulan ini. Beliau menceritakan sebuah kisah sebagai berikut :

Ada seorang kawan sekerjanya yang tamatan universitas cukup terkenal. Kawannya itu ketika melamar di perusahaan produsen alat toilet (INAX) tempat mereka kerja itu meminta posisi sebagai salesman. Tapi karena posisi itu sudah penuh maka untuk sementara ybs ditugaskan di bagian akaunting. Sebenarnya ybs tidak bisa menerima kenyataan, tapi karena sudah kadung masuk maka ia menerima dengan ogah-ogahan. Selama di akaunting itu ia bekerja setengah hati sehingga rekan sekerjanya kebanyakan menganggap ia tidak becus dalam bekerja. Prestasi kerjanya dinilai jeblok. Ia selalu berdalih bahwa buruknya prestasi kerjanya disebabkan oleh penempatan kerjanya yang tidak cocok.

Suatu hari posisi salesman terbuka untuk satu orang, tentu saja si kawan itu langsung mendaftar. Bagian personalia tidak sembarangan menempatkan orang sebagai salesman karena seorang salesman adalah wajah dari perusahaan, buruk laku salesman maka buruk pula citra perusahaan (prinsip dasar pekerjaan sebagai salesman ini berlaku hampir di semua perusahaan-perusahaan di Jepang), oleh sebab itu personalia mencoba mencari tahu seperti apa karakter dan prestasi kerja si kawan itu dengan bertanya ke rekan sekerjanya, dan tentu saja jawabannya anda sudah tahu. Image yang ada adalah buruk dan tidak becus sehingga personalia akhirnya memutuskan untuk tidak mengkabulkan permohonan si kawan itu.

Seandainya si kawan itu bekerja di bagian akaunting dengan sepenuh hati, maka image karakternya akan baik dan mendapat penilaian yang positif sehingga besar kemungkinan ia akan bisa melangkah ke karir yang diinginkannya. Tapi karena ia bermalas-malas di pekerjaannya yang sekarang dengan alasan “tidak cocok”, maka sebagai akibatnya ia malah tidak bisa beranjak dari tempatnya yang sekarang.

Sebagai manusia biasa, kita memang dilengkapi dengan gengsi, perasaan tak nyaman, ingin potong kompas, dan sederet perilaku yang bisa menjerumuskan kita ke arah yang berlawanan arah dengan keinginan yang melatarbelakangi perilaku itu. Apa yang saya hadapi sekarang ini sedikit mirip dengan cerita Fujimoto-san di atas, perbedaannya adalah saya sudah diberitahu tentang perencanaan karir masa depan sementara aktor di cerita itu memang belum diberi rencana apa-apa.

Plot cerita yang paling mirip dengan cerita di atas mungkin adalah kisah2 tentang kenshusei yang baru pulang dari Jepang.

Banyak kenshusei yang baru pulang dari Jepang diterima bekerja di perusahaan-perusahaan Jepang, tapi hanya sedikit yang berhasil membangun karir dan bertahan di keganasan persaingan dunia kerja. Banyak yang merasa tidak puas karena harus menerima gaji dengan jumlah yang sangat sedikit dibandingkan ketika bekerja di Jepang (pemikiran yang agak menggelikan). Banyak pula yang tidak bisa terima karena harus kembali bekerja di dunia otot dengan gaji ala Indonesia. Ada banyak mantan kenshusei yang mengira kalau pulang ke Indonesia dan masuk kerja di perusahaan Jepang bisa langsung menempati posisi tinggi di dalam perusahaan sehingga tidak bisa menerima kenyataan bahwa mereka harus mulai lagi dari nol. Padahal pihak perusahaan mungkin ingin melihat sejauh mana dedikasi dalam bekerja, lalu mungkin mulai merancang carrier plan yang sesuai. Kalau di pekerjaan yang sekarang kita tidak bisa sungguh-sungguh, maka perusahaan akan berpikir bahwa kita memang tidak bisa bekerja sehingga sampai kapanpun tidak akan diberi pekerjaan yang memiliki tanggung jawab yang berat. Di sinilah kita harus membuat visi, mempercayai visi itu, dan berusaha membangun jalur menuju terwujudnya visi itu. Pekerjaan yang sekarang memang kembali jadi buruh, tapi kalau ganbatte maka titian karir akan terbentuk.

Memang tidak mudah membuat, membangun, dan mewujudkan sebuah visi menjadi realitas. Tidak banyak orang yang bisa, itulah sebabnya hanya ada sedikit orang yang berhasil di kehidupan ini.

Kalau mengambil hikmah dari cerita Fujimoto-san maka kata kuncinya adalah mensukseskan lakon yang kita tekuni sekarang. Keberhasilan di lakon yang sekarang akan menuntun ke tahap selanjutnya menuju tujuan yang kita inginkan, insya Allah, amin.

Ganbarimashou…

3 pemikiran pada “Visi

  1. Saya kenshusei angkatan 78 juga sudah menyaksikan beberapa teman ek kenshusei yang terpental akibat gengsi untuk bekerja di pabrik,dari yang tertipu oleh bisnis yang menggiurkan hingga habis semua hasil jerih payah dari magang ke jepang ,sampai ada yang mengalami menjadi tukang ojek .Tragis memang tapi ya itulah kenyataan yang ada .

  2. Daeng Mustakim,
    Kearifan seseorang terlihat pada saat berada di titik ekstrim, entah itu ia sedang ditimpa kemalangan ataukah sedang beroleh keberuntungan. Kalau daeng ini kayaknya sedang ditimpa kemalangan.
    Kalau kita ditimpa kemalangan, maka Rasulullah mengajarkan kita untuk bersabar dan berucap “innalillahi wa inna ilaihi rojiun” (segalanya milik Allah dan segalanya akan kembali kepada-Nya).

    >> Yang pertama, bersabar.
    Yang disebut bersabar bukan hanya mengurut dada dan bersifat pasif. Pada kondisi daeng Mustakim, bersabar ini seharusnya dilakukan dengan :
    1. Hansei (intropeksi diri).
    Cari tahu dulu kenapa daeng bisa berada pada posisi yang sulit ini. Apa penyebabnya, bagaimana rentetannya, dan seandainya nanti menghadapi keadaan yg sama, apa yang seharusnya dilakukan untuk menghindari hasil yang serupa.
    2. Lupakan kegagalan.
    Kalau sudah hansei, maka camkanlah dengan baik hal2 yg harus dilakukan itu, lalu LUPAKANLAH KEGAGALAN itu. Jika tidak, maka daeng akan stres dan trauma sehingga takut untuk menghadapi kenyataan. Lupakanlah masa lalu karena masa lalu tak akan pernah kembali lagi.
    Tahukah daeng bahwa semua orang yang sukses di dunia ini pernah gagal?
    Konon, Einstein gagal 1500 kali dalam percobaannya. Daeng Mustakim gagal berapa ratus kali? Bangkrut baru sekali ini? Berarti peluang sukses daeng masih ribuan kali lipat dibanding Einstein 🙂

    >> Yang kedua, “innalillah wa inna lillahi rojiun”.
    Jika bisa mengucapkan kalimat ini sambil memahami esensinya maka insya Allah hati akan lapang dan daeng akan bisa memiliki karakter yang “mae-muki”(senantiasa optimis). Ucapan ini adalah penyerahan segala hasil dari aktifitas kita kepada Pemilik segalanya dengan ikhlas.
    Dengan ikhlas ini maka kita bisa membangun sifat optimis yang berdasarkan pada kepercayaan bahwa kegagalan yang telah kita alami semata karena Allah belum berkenan memberikan kesuksesan dan mungkin Allah ingin kita supaya belajar tentang sesuatu dari kegagalan itu.
    Dengan mengimani bahwa segalanya adalah milik Allah, maka kita tak akan pernah takut untuk mencoba lagi sebab kita pun tahu bahwa Allah itu Maha Pemurah, Allah akan memberi kepada hambaNya yang berusaha.
    Yang harus kita lakukan untuk sukses di masa datang adalah MENCOBA LAGI, lalu MENCOBA LAGI, lalu MENCOBA LAGI, lalu MENCOBA LAGI, dan seterusnya hingga berhasil.

    Bangkit dan tegakkan kepalamu daeng!! Ada ribuan peluang yang menunggu daeng bangkit lagi.

    Ganbarimashou!!!

Tinggalkan Balasan ke Asep mayBatalkan balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.