Are You A Spy?

Di masa-masa masih bekerja sebagai pekerja pabrik di Jepang dengan status kenshusei (peserta magang) di tahun 2000-2003, saya menghabiskan banyak waktu libur kerja di perpustakaan yang terletak di dalam gedung Fukui International Association atau biasa kami sebut FIA. Sebuah fasilitas publik yang dibangun oleh pemerintah daerah Fukui untuk mengakselerasi asimilasi budaya antara orang asing di Fukui dan orang Jepang lokal. Koleksi buku perpustakaannya terbatas, kebanyakan hanya berisi topik tentang budaya Jepang dan negara-negara lain, buletin JICA, buku bergambar untuk anak, pelajaran bahasa Jepang, dan koran berbahasa Inggris dan Jepang.

Sesuai fungsinya, FIA banyak dikunjungi oleh orang asing dan orang Jepang yang tertarik dengan kolaborasi atau sekedar interaksi dengan orang asing. Saya adalah pengunjung tetap yang datang minimal dua kali dalam seminggu, selain untuk belajar bahasa Jepang dibimbing guru sukarelawan, juga untuk sekedar bersosialisasi dengan teman-teman yang saya kenal melalui berbagai kegiatan di FIA ini, baik itu orang Jepang maupun pendatang dari negara lain.

Salah satu kenalan yang kerap saya jumpai adalah Peter, seorang guru bahasa Inggris yang mengajar di SMA lokal di Fukui melalui program ELT (English Language Teacher). Program ini ada hampir di seluruh wilayah di Jepang, namun Fukui Prefecture benar-benar serius menjalankan program ini dan mendatangkan banyak sekali guru dari negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa utama, salah satunya adalah Peter ini. Peter berasal dari United States of America.

Suatu pagi saat sedang duduk santai belajar di akhir minggu di perpustakaan FIA, tetiba Peter menghampiri dan duduk di kursi di hadapan saya. Dengan muka serius, dia memulai percakapan.

“You speak Arabic, right?”

Saya menjawab sambil tersenyum.

“Used to, but I haven’t spoken it for years. Just like you, speak Spanish but not that confident, right?”

Dia tetap menunjukkan muka serius.

“So, you speak Engliah fluently, you are fluent at Japanese, also you speak Arabic, and of course you speak Indonesian Language. What else, any other languages?”

“I also speak my mother tongue, a tribal language, Makassar”, Saya menjawab pelan.

“Are you kidding me? So, you speak 5 languages”, timpalnya.

Dia berhenti dan menatap saya dengan muka menyelidik dan mimik serius.

“Are you a spy?”

Saya tertawa cukup keras sebelum tersadar bahwa kami di perpustakaan yang tidak memperbolehkan percakapan dengan suara besar. Untungnya belum banyak pengunjung hari itu.

“Why would you think so?” Saya bertanya balik.

“Well, in my country it is not common that people speak more than 2 languages.” Katanya dengan penuh selidik.

Saya lalu jelaskan:

“I went to a boarding school in Indonesia, in my home town. We learnt English and Arabic both at the same time. And we use it daily”

“You mean, you used it in your daily life? That is amazing. I heard about boarding schools in Europe, they are usually elite schools. So, you are part of elite society”, dia menimpali dengan penuh semangat.

“Unfortunately, I have to disappoint you. I am not from elite society, if I am, I will not be here to work as a factory worker. And, my school is just an ordinary Islamic boarding schools in Indonesia, there are a lot of schools like mine. But, yeah, I am proud of my school”, jawab saya.

“Islamic?” dahinya agak berkerut.

“You mean, like, you know, Islamist?” Tanyanya hati-hati.

Saat itu tahun 2002, baru selang beberapa bulan setelah peristiwa 11 September 2001 saat sekelompok teroris menabrakkan pesawat komersial ke gedung World Trade Center di New York. Dunia sedang melihat Islam dalam kacamata Al Qaedah, semua ingin tahu apa itu Islam. Saya sempat diwawancarai koran lokal di Fukui Jepang karena mereka ingin tahu seperti apa kehidupan muslim sehari-hari. Kenapa bisa pemeluknya tega melakukan serangan teror kepada orang sipil tak bersalah. Bahkan saya diundang oleh stasiun radio lokal FM Fukui dan berbincang ringan selama 30 menit saat ramadhan karena mereka ingin tahu tentang puasa dan ramadhan. Di masa itu, ada banyak mata yang melihat Islam dan muslim dengan tidak bersahabat.

Kenalan saya si Peter adalah salah satunya. Rasa penasarannya terusik ketika mendengar saya menyebut bahwa saya adalah tamatan Islamic Boarding School, alias pesantren.

“Yeah, our school is Islamic boarding school, we learnt Islamic knowledges like Quran, Islamic laws, history, Arabic literatures, and also general subjects like maths, physics, chemistry, etc”.

“I know what is inside your head. But, let me tell you, Islam is a peaceful religion, it is not what you see on TV, all that things like Al Qaedah. They are different, those who committed terrorism? We don’t consider them as part of us, the real muslim will not harm you”, Saya menambahkan sambil tersenyum.

Kami akhirnya terlibat percakapan panjang tentang pesantren karena terpicu antusiasnya tentang metode pendidikan yang menurutnya unik dan tidak ada di negaranya, Amerika Serikat.

Sebagai tamatan pesantren saya selalu bangga dengan status saya sebagai santri. Saya menapak karir dari buruh pabrik yang kadang harus bekerja 14 jam dalam sehari karena harus kejar target produksi, hingga sekarang sebagai HR Head wilayah Asia Pasifik di sebuah perusahaan global yang sehari-hari menggunakan bahasa Inggris dan bahasa Jepang sebagai alat komunikasi. Menangani team yang sangat diversed, dari berbagai negara dan dengan beragam budaya dan nilai-nilai.

Pesantren bukan hanya membekali saya dengan kemampuan linguistik seperti bahasa Inggris, tapi juga dengan Iman, Islam, dan Ihsan. Kehidupan di pesantren mengajarkan saya tentang kemandirian, resilience, ketahanan mental, dan kegigihan dalam berjuang menggapai tujuan. 

Saat masih jadi pekerja pabrik, ada fase dalam hidup ketika saya harus masuk kerja jam 12 malam, selesai jam 7 pagi, tidur jam 8 pagi, dan harus bangun jam 1 siang karena harus belajar bahasa Jepang dan mengulang pelajaran SMA untuk bisa lulus ujian masuk universitas di Jepang. Di pesantren, kami terbiasa bangun sebelum azan subuh berkumandang, lalu mengikuti aktifitas belajar mulai dari subuh hingga malam. Kami terbiasa juggling antara harus menyelesaikan PR Fisika, Kimia, dan juga mahfudzat dan hafalan hadits dalam periode waktu yang sama. Ketekunan itu terbentuk dalam DNA santri sedari remaja.

Seangkatan saya ada santri yang datang dari ujung Timur Indonesia, ada pula dari bagian barat pulau Jawa, ada banyak suku, warna kulit, bahasa, dan tentu saja budaya di dalam pondok kami. Semua keragaman itu membentuk pemahaman tentang diversity dan respect terhadap sesuatu yang tak seragam.

Apalagi pesantren kami IMMIM mengajarkan prinsip “Bersatu dalam akidah, toleransi dalam khilafah dan furuiyyah”. Jauh sebelum DE&I (Diversity, Equity & Inclusion) menjadi tren global, pesantren kami di Makassar sudah memahatnya dalam metode pendidikannya. Membantu kami memahami makna toleransi dan mutual respect dalam aktifitas keseharian.

Dalam aktifitas bisnis sehari-hari, sangat sering saya harus berbicara di depan umum, menyampaikan pendapat, mengatur logika, menyusun argumentasi, dan mendengarkan lawan bicara. Di pesantren kami ada kegiatan muhadharah setiap minggu, memberi kami kesempatan untuk belajar tentang public speaking, mengasah listening skill, menggunakan logika, dan memahami adab majlis.

Di era ketika kecerdasan buatan (AI) mulai mengambil peran nyata dalam dunia kerja dan bisnis, kemampuan teknis saja tidak lagi cukup untuk bertahan. Hard skill perlu dilengkapi dengan soft skill seperti kreativitas, ketangguhan (resilience), kemampuan beradaptasi, kemampuan berkomunikasi, dan kerja sama, agar manusia tetap memiliki keunggulan yang tidak bisa digantikan oleh AI.

Namun, selain kompetensi teknis dan soft skill, manusia juga membutuhkan prinsip hidup yang kokoh agar keseimbangan fisik, mental, dan spiritual tetap terjaga. Di sini, pendidikan pesantren yang berbasis nilai berperan penting.

Pesantren adalah salah satu sistem pendidikan yang mengintegrasikan ketiganya:

membangun hard skill seperti bahasa dan ilmu pengetahuan,

mengasah soft skill melalui kehidupan asrama yang disiplin dan kolaboratif,

• dan menanamkan nilai-nilai Islam sebagai landasan moral dan way of life.

Karena dibangun di atas pondasi spiritual dan karakter, pesantren menyiapkan santri bukan hanya untuk bekerja, tetapi untuk hidup dengan tujuan dan manfaat bagi masyarakat.

———————

Tahun ini, pesantren IMMIM merayakan hari jadi ke-50. Setengah abad mengabdi kepada umat, membentuk manusia-manusia dengan iman dan iptek, menghasilkan ribuan ustadz, pebisnis handal, profesional di berbagai bidang, dokter, teknokrat, politikus, ratusan Phd, puluhan guru besar di berbagai universitas, ahli hadits, pakar tafsir, hakim, polisi, tentara, dan tak terhitung jumlahnya sarjana di hampir seluruh disiplin ilmu, bukan hanya ilmu agama namun ilmu umum.

Happy anniversary almamater kebanggaan kami, Pesantren IMMIM!

創立記念日、50周年おめでとうございます!

Semoga IMMIM menjadi institusi yang istiqamah memberi manfaat bagi umat Islam, bangsa Indonesia, dan dunia, aamiin.