Shokugyōbyō 職業病 – Tentang Kebiasaan yang Menempel di Hati

Pernah dengar istilah 職業病 (shokugyōbyō)? Kalau diterjemahkan secara harfiah bisa diartikan sebagai “penyakit profesi”. Dalam dunia medis, istilah ini merujuk pada penyakit yang timbul akibat dari pekerjaan, misalnya penyakit paru-paru karena sering menghirup bahan kimia di tempat kerja, dll. Sering juga disebut 職務上疾病 (istilah yang dipakai dalam UU ketenagakerjaan).
Tapi ini istilah ini juga seringkali digunakan untuk menggambarkan kebiasaan yang menempel tanpa sadar akibat pekerjaan, bukan merujuk pada penyakit yang sesungguhnya.
Bagian sebagian profesi, “penyakit” ini tidak perlu diobati, karena kadang justru menunjukkan betapa seseorang mencintai apa yang ia kerjakan.

Saat di Mandom – Rak Kosmetik dan Refleks yang Tak Sadar

Ketika masih bekerja di Mandom, saya ada di tim HR, bukan di sales atau marketing. Tapi entah kenapa, kebiasaan para kolega di divisi itu menular juga.
Mungkin karena setiap hari mendengar mereka berbicara tentang “brand visibility”, “eye level”, dan “consumer engagement”, lama-lama alam bawah sadar ikut terprogram.

Jadi setiap kali saya pergi ke supermarket, tanpa sadar langkah kaki ini menuju rak kosmetik.
Padahal tujuan awalnya cuma beli sabun atau air mineral.
Begitu sampai di sana, mata langsung mencari produk Mandom — Gatsby, Lucido-L, Pixy, Bifesta — seolah mereka teman lama yang menunggu disapa.

Dan kalau saya melihat botol-botol itu tidak rapi, atau miring sedikit…
Tangan ini seperti punya kemauan sendiri.
Pelan-pelan saya betulkan posisinya, menghadapkannya ke depan, kadang menyusun ulang urutannya.
Bukan karena disuruh siapa-siapa, tapi karena rasanya tidak tenang kalau dibiarkan.
Itu momen di mana saya sadar: “Ah, ini dia… 職業病 (shokugyōbyō)”.

Saya masih ingat saat sudah pindah kerja ke TDK Corporation and menghadiri rapat global HR di New Jersey, Amerika Serikat.
Di sela kesibukan saya sempat mampir ke sebuah supermarket di daerah Long Branch. Tadinya saya hanya pengen beli buah lokal, salah satu kebiasaan saya saat berkunjung ke negara lain adalah mencoba buah lokal. Tapi entah kenapa saya langkah saya malah ke rak kosmetik yang memajang produk cuci muka, skin care buat pria, shaving gel, dll. Tapi tentu saja saya tidak menemukan produk Mandom, karena Mandom tidak memasuki pasar Amerika Serikat.
Entah kenapa saya merasa masygul karena tidak bisa menemukan produk Mandom, padahal saya tidak bekerja lagi untuk Mandom.

Kosmetik dan toiletris di Supermaket Fine fare, Long Branch New Jersey Amerika Serikat

Rasa puas itu baru terbayar ketika berkunjung ke negara di Asia Tenggara, misalnya saat di Manila.
Saya masuk ke supermarket saat mencari cemilan buat di kamar hotel, dan lagi-lagi kaki ini membawa ke rak kosmetik.
Di sana, berdiri rapi produk-produk Mandom, seakan memberi salam dari masa lalu.
Saya ambil foto diam-diam — bukan untuk laporan kerja, tapi untuk kenangan.

Deretan kosmetik di sebuah Mall di Manila, Filipina
Watson di Singapura

Saat di Ricoh – Dari Rak Kosmetik ke Mesin Fotokopi

Sekarang saya bekerja di Ricoh, masih di HR juga.
Bukan di sales, bukan di teknis, tapi rupanya 職業病 tetap belum sembuh.
Bedanya, “gejalanya” berganti bentuk.

Kini, setiap kali masuk ke kombini, minimart, atau supermarket, mata ini otomatis mencari mesin fotokopi.
Biasanya ada di dekat pintu, berdiri tenang di sudut ruangan.
Dan refleks saya muncul lagi: melihat logonya.
Apakah Ricoh atau bukan?

Kalau ternyata Ricoh, ada rasa bangga kecil yang sulit dijelaskan.
Kalau bukan, saya tidak kecewa, tapi muncul dorongan halus di hati,
“Mungkin suatu hari nanti mereka akan beralih ke Ricoh.”

Minggu lalu saat jalan-jalan di daerah Chiba, saat masuk ke sebuah supermarket dan saya melihat sebuah mesin fotokopi terpasang di dekat pintu masuk.
Saya dekati perlahan, periksa logonya ternyata Ricoh, senangnya bukan main.
Entah mengapa, rasanya seperti sedang “memeriksa pasien” di luar wilayah kerja.

Lebih dari Sekadar Kebiasaan

Kalau dipikir-pikir, bagi saya 職業病 bukan penyakit.
Ia lebih seperti jejak cinta terhadap profesi.
Sesuatu yang menempel karena kita pernah — dan masih — punya rasa terhadap pekerjaan itu.

Saya di HR, bukan di front line.
Tapi mungkin justru karena itu, rasa bangga kecil saat melihat produk atau mesin dari perusahaan sendiri terasa lebih dalam.
Karena saya tahu di balik satu botol Gatsby atau satu mesin Ricoh, ada kerja keras kolega saya di perusahaan.

職業病, kalau dilihat dari sisi lain, adalah bentuk paling halus dari keterikatan batin.
Ketika pekerjaan bukan lagi sekadar “apa yang kita lakukan”, tapi menjadi “bagian dari siapa kita”.

Dari “Rak” ke “Mesin”: Simbol yang Berbeda, Makna yang Sama

Rak kosmetik dulu adalah simbol expression — tentang bagaimana seseorang menampilkan dirinya ke dunia.
Mesin fotokopi sekarang adalah simbol connection — tentang bagaimana manusia terhubung melalui informasi.

Dua-duanya, pada dasarnya, berbicara tentang interaksi manusia.
Bedanya hanya medium.

Mungkin itu sebabnya, saya tidak merasa aneh ketika kedua dunia itu saling bertukar tempat di dalam diri saya.
Karena di balik rak dan mesin, yang saya lihat tetap sama:
usaha manusia untuk memperindah, memperlancar, dan memudahkan hidup sesama.

Kadang saya berpikir, 職業病 hanyalah cara lain alam memberi tahu bahwa kita pernah jatuh cinta pada pekerjaan kita.
Cinta itu membentuk kebiasaan, dan kebiasaan itu menempel, bahkan saat kita berpindah tempat.

Kalau suatu hari nanti saya bekerja di bidang lain, mungkin “penyakit” ini akan berganti wujud lagi.
Tapi selama saya masih tersenyum melihat hasil kerja orang-orang di baliknya, saya tahu satu hal:
saya belum sembuh.

Tuliskan komentar anda

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses