Selandia Baru dan Australia: Tentang Kepemimpinan, Budaya, dan Manusia

Ada sesuatu yang istimewa dari perjalanan ini.

Satu minggu di Selandia Baru dan Australia pada September 2025 bukan sekadar perjalanan dinas, tapi semacam lingkaran yang kembali menyatu, sebuah impian lama yang akhirnya tersentuh juga, meski dengan cara yang tak pernah saya duga.

Selandia Baru: Negeri yang Pernah Hanya Ada di Peta dan Mimpi

Selandia Baru adalah salah satu negara impian saya sejak remaja.

Tiga puluh tahun lalu, saya pernah bercita-cita kuliah di Wellington Polytechnic. Saya sudah lulus ujian masuk, sudah memegang surat panggilan untuk pengurusan visa pelajar, bahkan sudah memiliki nomor kamar di asrama mahasiswa. Tapi pada tahun 1998, krisis moneter melanda Indonesia. Nilai rupiah jatuh hingga hanya seperenam dari nilai sebelumnya. Segala rencana yang sudah saya susun perlahan menguap, digantikan oleh realitas bahwa kuliah ke luar negeri adalah kemewahan yang tak mungkin dijangkau.

Sejak itu, nama “New Zealand” selalu tertinggal di kepala saya, sebagai simbol dari mimpi yang tertunda, tapi tidak hilang.

Dan tahun ini, untuk pertama kalinya, kaki saya akhirnya menapak di tanah yang dulu hanya saya lihat dari peta.

Auckland: The Coty of All Black

Saya tiba di Auckland sekitar pukul 9 pagi, dengan udara yang bersih dan angin dingin yang terasa seperti menyapa pelan. Team saya, Manager HR di Ricoh New Zealand sudah memesankan corporate taxi, jadi seharusnya saya cukup menunggu sopir yang menjemput, tetapi rupanya perusahaan taksi salah membaca jadwal kedatangan saya dari Google yang menampilkan waktu sore hari. Akhirnya saya menghangatkan diri dengan segelas caffelatte dari kios Dunkin Donut di pintu ketibaan, sambil menunggu jemputan. Setelah menunggu hampir satu jam, akhirnya seorang pengemudi berseragam resmi yang datang dengan membawa iPad bertuliskan “Arif”.

Namanya Singh, pria asal Punjab yang baru dua tahun menetap di Selandia Baru. Di perjalanan menuju hotel, kami berbincang tentang kehidupannya di Auckland, tentang bagaimana ia rindu keluarga besarnya di India tapi bersyukur bisa membangun hidup baru di negeri yang lebih tenang. Percakapan sederhana, tapi meninggalkan kesan yang dalam, bahwa di balik sistem yang rapi dan budaya kerja yang efisien, ada sisi manusia yang hangat dan nyata.

Saya tiba kepagian karena jam baru menunjukkan pukul 11 saat tiba di lobi hotel. Setelah membersihkan diri di rest room saya tadinya berniat menitipkan barang di concierge dan keluar, tapi staf hotel dengan dialek kental New Zealand, memberitahukan bahwa dia bisa menemukan kamar yang kosong buat saya, padahal jam check-in normal adalah jam 3 sore, alhamdulillah. Akhirnya saya terima kunci, menaroh barang dan menjinjing tas kecil lalu mengikuti Google Maps keluar hotel, target pertama adalah mencari masjid terdekat. Sayangnya, masjid itu sudah tidak beroperasi lagi karena lokasi yang ditunjuk adalah gedung apartemen tertutup dan terletak di depan kantor polisi. Karena terkesan dengan keunikan gedung kantor polisi, akhirnya saya berlagak jadi turis dan menghabiskan waktu 5 menit untuk memfoto gedung tersebut.

Saya segera memesan uber dan memasukkan alamat, target saya selanjutnya adalah bertemu dengan saudara sepondok di Makassar, Amiruddin, satu-satunya peserta yang lolos hingga tahap akhir di program AFS dari angkatan kami di pesantren dulu. Kami bertemu kembali setelah lebih dari dua dekade, berbicara panjang tentang hidup, keluarga, dan perjalanan yang membawa kami masing-masing ke sini. Selain bekerja di University of Auckland, Amir juga membuka restoran Makassar yang dikelola bersama keluarganya. Konro bakar adalah signature dish-nya, dan memang pantas menjadi favorit karena kelezatannya tidak kalah dengan konro Bawakaraeng di Makassar.

Amir mengajak saya ke masjid Umar, pusat dakwah Islam di Auckland. Bangunannya sederhana, namun bersih dan terasa adem.

Belajar dari Ricoh New Zealand

Selama tiga hari di Auckland, saya berkunjung ke kantor Ricoh New Zealand dan melakukan dialog dengan jajaran manajemen. Manager lokal, Ashleigh dan Katherine, mengatur pertemuan saya dengan Managing Director dan semua manajemen di bawahnya, ditambah beberapa leader potensial yang disarankan oleh MD agar saya temui.

Ricoh NZ di kejauhan

Ada hal yang langsung terasa begitu masuk ke kantor mereka, suasana yang tenang tapi hidup.

Di sana, kepemimpinan bukan soal posisi atau gelar. Mereka hadir, mendengar, dan membimbing dengan cara yang nyata.

Di Ricoh New Zealand, rekrutmen bukan hanya soal kemampuan teknis, tapi tentang mindset dan kesesuaian dengan nilai Ricoh Way. Sistem kinerja tidak digunakan untuk menekan, tapi untuk menginspirasi. Semua orang tahu apa yang dituju, tapi punya ruang untuk bertumbuh dengan cara mereka sendiri.

Saya juga melihat bagaimana inovasi menjadi bagian dari keseharian. Program ThinkTWICE, hasil kolaborasi dengan HYPE Innovation, memungkinkan ide-ide dari seluruh karyawan diwujudkan menjadi aksi nyata. Kemitraan dengan SupaHuman juga menarik, mereka menggunakan AI bukan untuk menggantikan manusia, tapi untuk memperkuat kemampuan manusia itu sendiri.

Selandia Baru meninggalkan kesan tenang dan jernih. Ada kedisiplinan seperti di Jepang, tapi dengan ruang bernapas yang lebih lapang. Setiap percakapan terasa tulus dan tanpa tergesa.

Ruang utama
Ruang utama, untuk multip purpose
Ruangan saya selama dua hari
Ruang istirahat di kantor Ricoh NZ, tersedia kopi dan bisa minum sepuasnya

Di hari ketiga, setelah meeting dengan HR team, saya menuju bandara Auckland untuk bertolak menuju destinasi berikutnya, Sydney.

Prayer room di bandara Auckland
Tempat wudhu
Ruang sholat yang cukup nyaman

Sydney: The City of Opera House

Saya tiba di Sydney di malam hari. Tempat menginap yang disiapkan tim Australia lebih mirip serviced apartment daripada hotel. Ada ruang tamu, dapur, mesin cuci, bahkan pengering. Tidak ada sarapan, jadi setiap pagi saya berjalan ke stasiun terdekat membeli secangkir kopi dan roti alpukat, ritual kecil sebelum hari dimulai.

Dua hari di Sydney terasa singkat tapi padat. Sejak melangkah ke kantor Ricoh Australia di North Ryde, saya langsung merasakan semangat yang berbeda, cepat, terbuka, dan penuh arah. Tim di sini bekerja dengan visi yang jelas: bertransformasi dari bisnis cetak tradisional menuju Managed Services Provider terkemuka di Australia, dengan fokus pada digital workplace, cloud IT, dan automation.

Yang menarik, semangat transformasi ini tidak membuat mereka kehilangan akar. The Ricoh Way benar-benar terasa di sini, dalam cara mereka melayani pelanggan, bekerja sama, dan menjaga integritas.

Salah satu inisiatif yang menyentuh saya adalah Reconciliation Action Plan (RAP), komitmen nyata untuk membangun hubungan yang setara dan saling menghormati dengan komunitas Aborigin dan Torres Strait Islander. Program ini bukan hanya simbolik, tapi dijalankan dengan kesungguhan: membuka peluang kerja, meningkatkan kesadaran budaya, dan menumbuhkan rasa hormat yang tulus.

Melihat langsung perjalanan RAP membuat saya berpikir, transformasi yang sejati selalu dimulai dari keberanian untuk mempercayai manusia. Di Ricoh Australia, saya melihat keseimbangan yang indah antara strategi dan empati, antara kinerja dan kesejahteraan, antara inovasi dan inklusi.

Makassar: Kembali ke Akar

Perjalanan saya berakhir dengan singgah di Makassar. Setelah dua minggu melintasi zona waktu, kembali ke rumah terasa menenangkan. Duduk di samping ibu, bercerita sambil memperlihatkan video saat di negara-negara lain, saya menyadari bahwa semua perjalanan profesional pada akhirnya selalu membawa kita kembali ke hal yang paling dasar: hubungan manusia.

Penutup

Perjalanan ke Selandia Baru dan Australia bukan hanya memperluas pandangan saya tentang HR dan organisasi, tapi juga memperdalam keyakinan bahwa inti dari transformasi adalah manusia itu sendiri.

Teknologi bisa mempercepat, sistem bisa mempermudah, tapi yang memberi arah selalu hati dan nilai.

Dan dari dua negara ini, saya belajar satu hal penting, bahwa perubahan yang bertahan lama selalu tumbuh dari budaya yang dijaga dengan kesadaran dan kepercayaan.

Tuliskan komentar anda

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses