There is Always The First Time for Every Thing – Singapura dan Malaysia

Ada mimpi-mimpi kecil yang tak pernah benar-benar kita kejar, tapi diam-diam menetap di sudut hati, menunggu saatnya terwujud.
Bagi saya, mengunjungi Singapura dan Malaysia termasuk salah satunya.
Dua negara yang begitu dekat dari Indonesia, hanya beberapa jam dari Makassar, kota tempat saya tumbuh, justru baru bisa saya kunjungi dua puluh tahun lebih setelah masa SMA.
Ironisnya, selama waktu itu saya sudah lebih dulu menjejakkan kaki di lebih dari dua belas negara lain, dan sebagian justru negara-negara di benua Eropa dan Amerika.
Namun bukan jarak yang membuat Singapura dan Malaysia istimewa, melainkan kenangan masa remaja yang tertinggal di sana.

Sebuah Pilihan di Usia 16

Kala itu sekitar tahun 1992. Angkatan saya di SMA Pesantren IMMIM di Makassar menyusun rencana study tour ke Malaysia dan Singapura.
Bagi kami yang kala itu belum pernah ke luar negeri, rencana itu adalah kabar besar.
Teman-teman bersemangat mengadakan event pengumpulan dana, menyiapkan paspor dan menabung uang jajan.
Saya pun ingin ikut. Tapi ada satu hal yang membuat saya berpikir panjang: biayanya 600.000 rupiah.
Sekilas mungkin kecil untuk ukuran hari ini, tapi waktu itu, gaji ayah saya sebagai kepala sekolah di SD hanya sekitar 1,3 juta rupiah per bulan.
Saya tahu betul, setiap rupiah punya tujuan: untuk makan, biaya sekolah kami, bayar listrik, dan kebutuhan lainnya.
Di saat yang sama, saya tengah mengikuti serangkaian tes program pertukaran pelajar AFS (American Field Service).
Tes demi tes saya lewati, wawancara, psikotes, grup diskusi, tes bakat, dll hingga akhirnya hanya tujuh orang dari Makassar yang tersisa.
Namun untuk melangkah ke tahap final di Jakarta, peserta diminta menyiapkan 2,5 juta rupiah untuk keperluan administrasi dan persiapan logistik.
Dan di situlah mimpi itu berhenti.
Saya tahu ayah tidak sanggup, dan saya tak tega meminta.
Akhirnya saya mundur, menyatakan tidak bisa menyiapkan dana, dan karena masa persiapan untuk study tour lewat, akhirnya saya pun tidak bisa ikut study tour ke Malaysia dan Singapura.
Dua-duanya mimpi masa remaja yang harus saya lepaskan karena alasan yang sama, biaya yang tidak mencukupi.

Belajar dari Keterbatasan

Sebagai remaja kala itu, tentu ada rasa kecewa. Tapi saya tidak pernah menyesal.
Saya belajar satu hal penting: keterbatasan tidak selalu berarti kekalahan.
Kadang justru dari keterbatasan, kita belajar tentang prioritas, kesabaran, dan daya juang.
Saya berjanji pada diri sendiri, bahwa suatu saat saya akan menginjakkan kaki di Malaysia dan Singapura. Dan janji itu menjadi obsesi tersendiri, bahkan setelah saya beranjak dewasa dan hidup di luar Indonesia.

Tiga Dekade Berjalan

Waktu berjalan cepat. Saya berangkat ke Jepang, kerja dan kuliah dan akhirnya menetap di negara yang dulu hanya bisa saya sebut di formulir AFS (waktu seleksi AFS Jepang dan Jerman adalah negara pilihan saya).
Dari sana, hidup membawa saya ke banyak tempat.
Sebagai profesional di bidang HR global, saya telah mengunjungi hampir seluruh negara ASEAN, India, Cina, dan beberapa negara di Eropa dan Amerika.
Saya menemui kolega di berbagai negara, menghadiri rapat global dan regional, dan bertemu dengan kolega-kolega dari berbagai ragam budaya.
Namun setiap kali melihat peta Asia Tenggara, pandangan saya selalu berhenti di dua titik kecil: Singapura dan Malaysia.
Dua negara yang dulu begitu dekat tapi terasa begitu jauh.
Sudah tak terhitung berapa kali saya transit di Changi dan KLIA, tapi tak pernah benar-benar keluar dan berpusing-pusing di kota, hanya menghabiskan waktu di bandara atau hotel dekat bandara.
Mungkin semesta masih menunggu waktu yang tepat.

Juni 2025: Saat Waktu Akhirnya Berpihak

Tahun 2025 datang membawa kejutan kecil.
Dalam peran saya sebagai Head of APAC HR di Ricoh, saya mendapat jadwal kunjungan kerja ke beberapa negara di Asia Pasifik.
Dan di antara daftar itu, dua nama membuat saya tersenyum: Singapura dan Malaysia.
Entah kenapa hati saya bergetar saat membaca itinerary itu.
Dua puluh tahun penantian akan segera berakhir.
Perjalanan kali ini tentu jauh dari bayangan study tour SMA.
Saya datang dengan jas, laptop, dan agenda rapat.
Saya datang bukan untuk melihat-lihat, tapi untuk berkontribusi dan belajar dari kolega-kolega bisnis saya.

Menanti si ANA
Halal meal di ANA

Menyapa Singapura

Ketika saya keluar dari bandara Changi menuju hotel, saya menatap ke barisan gedung-gedung pencakar cukup lama.
Ada rasa haru yang sulit dijelaskan.
Bagi saya, Singapura bukan sekadar kota canggih penuh gedung tinggi, tapi kenangan yang tertunda, mimpi sederhana yang dulu tertahan oleh angka di selembar kertas.
Bapak sopir yang mengantar saya mengajak ngobrol dan saya bercerita tentang obsesi saya tentang Singapura, kami tertawa berdua dalam udara hangat sore itu.

Suasana sore Singapura

Sore itu, setelah check-in di hotel, saya menyempatkan diri menyusuri jalan di depan hotel.
Angin sore berhembus lembut, dan di depan saya, cahaya lampu kota berkilau di permukaan air.
Saya teringat diri saya di usia 17 tahun, anak pesantren dari Makassar yang harus berkata tidak karena tidak ingin membebani orang tua dengan biaya yang setara setengah bulan gaji.
Saya tersenyum.
“Akhirnya, alhamdulillah” saya membatin.

Momentus Hotel Singapore
Kebiasaan orang kampung, ambil foto kamar hotel … ha ha ha…
Tidak lupa kamar mandinya
Laut di kejauhan,,,
Mapletree Business City, tempat Ricoh Singapore berkantor
Jalan pagi bersama Pen-chan, boneka si bungsu
Mapletree Office Area
Menikmati segelas caffe latte sebelum memulai pagi

Hangatnya Malaysia

3 hari kemudian, saya tiba di Kuala Lumpur.
Malaysia terasa seperti rumah yang lain. Bahasa dan wajah orang-orangnya akrab, makanannya sangat mirip cita rasanya dengan makanan khas Indonesia.

Iga bakar dan nasi kuning, pake sambel
Lupa apa nama menunya, yang penting nikmat lah
Sarapan pagi, ada menu mairo!
Masjid di seberang hotel
Saya agak sulit menerima kenyataan, oh … 🙂

Malam itu saya bertemu dengan kawan semasa mondok dan kawan dari sekolah bisnis yang sempat satu grup saat menyelesaikan program Executive MBA di Quantic School of Business and Technology.

Bersama kawan lama
Kebiasaan orang kampung, foto kamar hotel, harap maklum 🙂
Pemandangan dari jendela kamar hotel

Esoknya dengan Uber, saya menuju kantor Ricoh Business Service (RBS) di Petaling Jaya.
Di RBS saya bertemu dengan tim saya, Manager L&D beserta 2 anggotanya, dan manager HRIS beserta 2 anggotanya. Selain itu juga berdiskusi dengan beberapa manager lain dan tidak lupa dengan CEO RBS.
Di hari terakhir saya mengunjungi Ricoh Malaysia di daerah Shah Alam, bertemu dengan Managing Director/CEO dan mengadakan interview 1:1 dengan seluruh jajaran direksinya.

Ricoh Business Service, Malaysia

Di pagi hari sebelum jam kantor, sesuai kebiasaan, saya morning walk menyusuri daerah sekitar hotel. Saat mengambil foto suasana sekitar itu, saya jadi teringat masa SMA.
Andai dulu saya datang sebagai peserta study tour, mungkin kunjungan ini tidak akan begitu berkesan.

Simbol kompleks hotel Sunway Pyramid Kuala Lumpur
Hotel di kala subuh menjelang pagi
Ruko sekitar hotel
Pen-chan kecapekan jalan pagi
Sambel yang pedasnya bikin yakin
Wah ini iklan khusus dewasa kayaknya,,, ngomong2 ramuan pake biawak???

Tentang Waktu dan Rezeki

Perjalanan ini membuat saya percaya: tidak ada yang benar-benar terlambat.
Ada hal-hal yang memang belum terjadi karena waktu sedang menyiapkan diri kita.
Keterbatasan masa lalu ternyata bukan penghalang, melainkan latihan kesabaran.
Dan ketika akhirnya tiba di tempat yang dulu hanya bisa saya bayangkan, saya tahu semua penantian itu sepadan.

Menutup Bab yang Dulu Tertinggal

Ada bab-bab kecil dalam hidup yang dulu tertinggal karena keterbatasan, tapi ternyata tidak benar-benar hilang.
Ia hanya menunggu waktu yang tepat untuk diselesaikan.
Perjalanan ke Singapura dan Malaysia bukan sekadar urusan pekerjaan,
Tapi merupakan perjalanan batin, menutup lingkaran yang terbuka dua puluh tahun lalu.


Ketika pesawat menembus awan malam menuju Jakarta (saya menghabiskan weekend di Makassar sehabis dinas), saya merasa ringan.
Tidak ada lagi rasa tertinggal.
Tidak ada lagi “andai dulu”.
Hanya ada satu perasaan tersisa: syukur.
Bahwa akhirnya, setelah dua puluh tahun, saya sampai juga di Malaysia dan Singapura
dengan cara yang lebih indah daripada yang pernah saya bayangkan.

Tuliskan komentar anda

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses