Innal Fataa Man Yaquul Haa Anaa dza

Suatu sore di tahun 1991, seorang adik kelas menyapa saya saat sedang santai menunggu waktu sholat magrib. Kala itu di pesantren IMMIM Tamalanrea kami punya kebiasaan untuk menghabiskan waktu menjelang magrib dengan duduk di hamparan rumput depan pagar pesantren yang menghadap jalan. Ada yang sambil tadarrus, atau baca buku, ada yang sambil ngobrol, atau ada juga yang sekedar termenung dan melamun.
Adik kelas itu kurus, ceking tapi memiliki tatapan tajam orang cerdas seperti mendiang Habibie. Wajahnya kearab-araban karena memang konon keturunan arab.

“Selamat, kak” katanya sambil mengulurkan tangan untuk berjabat tangan.

“لا أفهم أخي Laa afham akhiy (saya tidak mengerti, bro), selamat untuk apa?” Saya menjawab sambil kebingungan.

“Kata abah saya, karya antum terpilih sebagai karya terbaik” Katanya sambil tersenyum.

“Karya saya?” Saya balik bertanya.

“Naam (ya), karya tulis antum tentang pesantren IMMIM terpilih oleh ICMI sebagai karya terbaik untuk kategori pesantren dan madrasah aliyah di tingkat propinsi Sulawesi Selatan” Panjang lebar dia menjelaskan.

“Mina aena ta’rif (tahu dari mana)?” Saya tanya lagi.

“Abii ketua juri fii ICMI kak (bapak saya ketua juri di ICMI)” Jawabnya ringan.

Adik kelas itu namanya Fikri Rumi dan abahnya adalah mendiang (yarhamhullah) Pak Fuad Rumi, seorang cendekiawan termasyhur di Makassar, dan bahkan level nasional.
Mungkin Fikri sudah lupa percakapan itu, dan saya pun tak sempat menanyakannya saat kemaren kami ngobrol sambil menikmati sushi di Genki Sushi di daerah Shin Okubo, Tokyo. Kebetulan dia sedang ke Jepang, memboyong keluarga dan sanak saudara untuk liburan menikmati musim gugur yang dingin.
Fikri tumbuh sebagai pribadi sukses dalam bidang pekerjaan dan dunia sosial. Karirnya sebagai profesional di bidang sales untuk produk di bidang maritim sangat cemerlang. Lobi-lobinya seringkali menghubungkan industri di dua negara, Indonesìa dan Jepang. Saat ini dia menduduki jabatan strategis di sebuah perusahaan 商社 (trading) dari Jepang.
Dialah tipe generasi yang digambarkan dalam mahfudzat yang kami pelajari di pondok dulu “ليس الفتى من يقول كان أبي، ولكن الفتى ها أنا ذ Laesal fataa man yaquulu kaana abiy, innal fataa man qaala haa anaa dza”, bukanlah seorang pemuda sejati yg cuma bisa berkata, “bapak saya tuh ya”, “lu tahu ngga, bokap gue dulu”,,dll,,,
Seorang pemuda sejati adalah yg membangun legendanya sendiri sehingga mampu berkata dengan percaya diri “inilah saya, inilah karyaku, inilah prestasiku”.
Fikri membangun legend yang bahkan mungkin sudah melampaui legenda abahnya yg termasyhur, Allahuyarham Pak Fuad Rumi.

Tuliskan komentar anda

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.