Arti dari “Being a Father”

Sepulang dari dinner setelah workshop HR yang dihadiri oleh perwakilan praktisi Talent Development beberapa perusahaan di Jepang, duduk di samping saya di kereta perwakilan dari perusahaan kimia T***Y, perusahaan ini terkenal, di Indonesia juga punya pabrik.

Gambar dibuat oleh AI, hanya sebagai pemanis

T-san : “Arif-san root-nya Indonesia ya?”

Saya : “Iya”

T-san : “Sebenarnya saya juga keturunan Indonesia. Bapak saya orang Indonesia, ibu saya orang Jepang, saya pernah tinggal di Jakarta sekitar 2 tahun waktu usia 3-4 tahun.”

Saya : “wow! Oya? Saya baru tahu itu.”

Kami dalam satu grup di kelompok studi HR ini dan sudah bertemu virtual beberapa kali.

Saya : “Kalau saya bukan keturunan, saya asli orang Indonesia, tidak ada darah Jepang sama sekali.”

T-san : “eh, o ya?”

Saya : “Iya, saya datang ke Jepang sekitar 24 tahun yang lalu. Apa memori paling melekat selama tinggal di Jakarta?”

T-san : “ada dua, yang pertama, banjir. Saya ingat sekali air tingginya sampai sedada orang dewasa. Saya juga ingat kalau pas hujan deras bentar aja, pasti terjadi genangan, padahal dulu tinggalnya di daerah yang cukup bagus, rumahnya gede-gede.”

Saya : “hehehe… kalau sekarang agak lumayanlah, masih ada banjir, tapi kalau dibandingkan dulu, sudah sangat lumayan.”

T-san : “satu lagi yang sangat saya ingat, suatu hari ada pesta, kayaknya ulang tahun, keluarga papa datang bawa sapi 2 ekor, disembelih di halaman rumah, dikuliti dan dagingnya dipotong-potong, terus saya bantuin bagi-bagi ke tetangga.”

Saya : “aha, kayaknya itu bukan pesta ulang tahun tapi hari raya kurban, sebagai muslim, kita melakukannya sekali setahun, tujuannya supaya bisa berbagi kepada orang lain. Senin depan pas hari raya kurban.”

T-san : “eeh, gitu ya, saya ingat banget itu karena keluarga papa yang menyembelih dan saya bantu bagi-bagi daging.”

Saya : “Masih sering kontak-kontakan dengan papanya?”

T-san : “orang tua cerai waktu umur 4 tahun, dan sejak kembali ke Jepang, tidak pernah kontak lagi.”

Saya : “tidak ada rasa rindu ke papanya?”

T-san : “ngga tahu kenapa, sama sekali tidak.”

Saya : “mungkin nanti kalau sudah berkeluarga dan menjadi papa, barulah merasa ada sesuatu yang tak lengkap.”

T-san : “iya, mungkin saja.”

***

Lesson learned:

1. Memori manusia cenderung melupakan, kecuali hal-hal yang impactful.

2. Being a father, bukan sekedar biologis, tapi juga psikologis. Jika tak ada unsur agama dalam prinsip hidup, tanpa peran psikologis, keberadaan orang tua akan diabaikan oleh anak.

Tuliskan komentar anda

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.