Saat antri di passport control di Munich Intl Airport, saya baru sadar telah memasukkan paspor baru ke dalam tas bagasi, bukannya paspor lama, sehingga otomatis paspor yg ada di tas jinjing adalah paspor lama yg sudah dilubangi, alias invalid.
Saya jadi sangat panik, apalagi saat melihat jam yg menunjukkan 13:44 sementara boarding 14:45. Akhirnya saya berlari menuju Lufthansa Bag Claim Office, namun petugas hanya menjawab secara normatif dan tidak memberi solusi. Saya tetap tersenyum dan berusaha tampak tenang, dan saya bertanya apa yg bisa dia bantu, akhirnya si Ibu menyarankan saya ke bagian ticketing dan menanyakan apakah memungkinkan untuk booking penerbangan besok karena saya sudah beliau pastikan tdk akan bisa ikut flight hari itu.
Saya akhirnya berlari lagi keluar ke bagian ticketing dan dilayani oleh seorang staf wanita muda dengan aksen dan pronounciation english yg bagus. Hebatnya si mbak ini tetap tenang dan senyum sambil berusaha mencari beberapa alternatif. Tapi, kesimpulannya sama, saya tidak bisa ikut flight hari ini, dan dia menyodorkan harga tiket one way untuk keesokan harinya, 2,000 Euro atau sekitar 28 juta rupiah. Kalau saya harus beli tiket lagi, tentunya jadi tanggungan pribadi dan ndak mungkin saya klaim ke kantor karena saya yg salah. Sebelum transaksi, si mbak minta izin diskusi dgn atasannya, siapa tahu katanya ada cara lain. Saya menunggu beberapa menit dan si mbak kembali dgn advise dari atasannya agar saya mencoba saja dulu ke imigrasi, kalaupun ternyata ditolak, barulah beli tiket. Advise ini memacu semangat saya yg sebenarnya sudah patah dan pasrah kehilangan satu hari dan uang beberapa puluh juta.
Akhirnya saya berlari ke security check dan meminta tolong ke penumpang lain untuk memberi jalan karena boarding akan tutup dalam 20 menit, alhamdulillah penumpang lain langsung bergeser dan membuka jalan buat saya. Namun itu baru sepertiga perjuangan karena bagian tersulit adalah imigrasi. Secara perlahan mulut saya mulai mengucapkan doa “Allahumma yassir wa laa tu’assir” terus berulang kali hingga berhadapan dengan petugas imigrasi.
Petugas imigrasi mengajak komunikasi dengan bahasa Jerman, namun saya membalas dengan bahasa Inggris hingga akhirnya dia paham bahwa saya tidak bisa bahasa Jerman. Saya jelaskan kondisi yg saya hadapi dan dia langsung dgn sigap konsultasi dengan atasannya setelah memeriksa database visa dan tampaknya menemukan data saya. Butuh 10 menitan hingga akhirnya dia mengembalikan paspor dan berucap “Next time, do not forget your passport, sir”. Saya menjawab “sure, and thank you very much”.
? urusan selesai dan yg terakhir dan terpenting, tiba di gate sebelum pintu pesawat ditutup. Sambil menjinjing tas laptop dan coat saya berlari menuju gate yang jaraknya ada sekitar setengah kilo. Sambil terengah-engah dan berkeringat saya tiba di gate H44, petugas pria yg tampaknya orang Jepang menyapa dalam bahasa Inggris, dan ketika saya membalas dengan bahasa Jepang, dia tersenyum lebar.
Alhamdulillah saya sudah duduk melap keringat dan melepas jas yg basah oleh keringat di musim gugur Jerman dengan suhu 1 derajat ketika LH714 lepas landas dari Munchen.
Saat saya menulis artikel ini, saya sudah di Haneda airport di hari sabtu siang yg cerah, duduk santai sambil menyeruput caffe latte hangat di Tully’s Coffee.
Pelajaran dari kejadian ini :
1. Abaikan orang negatif dan ikutilah orang yg percaya
Saat kita memiliki target atau impian, akan ada orang seperti staf di bagian baggage claim dan ticketing, namun abaikan ‘nasihat’ orang-orang seperti itu. Carilah orang-orang yang seperti atasan staf di bagian ticketing Lufthansa, yaitu orang-orang yang percaya bahwa kita bisa melakukannya. Abaikan orang negatif, dan berpeganglah pada yg percaya, walaupun itu cuma satu orang.
2. Stay calm dan tidak panik
Konon, lawan bicara atau negosiasi akan terpengaruh oleh sikap kita. Saat negosiasi, saya berusaha memusatkan pandangan pada satu titik dan terus berdoa saat tidak bercakap dengan petugas. Ini mungkin menimbulkan rasa nyaman bagi mereka sehingga tidak ikut-ikutan panik yg mengakibatkan mereka menjadi tidak mampu berpikir atau bertindak rasional. Sebenarnya di dalam, saya sangat panik, tapi membiarkan orang lain tahu kalau saya panik tidak akan membantu mereka mencari jalan keluar bagi saya.
3. Setelah semua usaha dilakukan, barulah pasrah pada Pemilik segala urusan
Saat berhadapan dengan situasi ini, saya langsung mengingatkan diri
bahwa pasti Allah sedang menyiapkan sesuatu untuk saya karena jika Allah
menguji, maka tentunya ada kebaikan di balik itu semua. Ketika Allah
menggerakkan lisan atasan staf ticketing sehingga memberikan advise
cemerlang itu, saya tersentak dan seperti ditampar sambil diingatkan
“usaha dulu dong!”.
Namun ketika saya berhadapan dgn pengambil
keputusan dan tak ada lagi usaha yg bisa dilakukan, maka saya
menyerahkan semuanya kepada Pemiliknya dan terus berucap “Allahumma
yassir walaa tu’asssir (Ya Allah mudahkanlah, dan janganlah
dipersulit)”.
4. Sebelum memasukkan barang di bagasi, peganglah paspor secara fisik
Ini prinsip yang saya pelajari dari tour guide sewaktu wisata di Korea beberapa tahun lalu dan selalu saya praktekkan setiap kali melakukan perjalanan. Entah kenapa hari ini saya lupa dengan kebiasaan ini. Tapi hikmahnya, kalau drama singkat ini tidak terjadi, maka anda tidak akan baca tulisan saya ini