Berawal dari obrolan teman workshop dari Timor Leste semalam, saya jadi teringat ketika di tahun 2008 saya harus pindah dari Himeji ke arah Kobe-Osaka karena rotasi ke HRD. Waktu itu saya sempat melakukan riset kecil2an untuk mencari tahu di wilayah mana yang paling nyaman ditinggali. Osaka sudah saya coret karena menurut data statistik memiliki utang yg harus ditanggung oleh penduduknya, konsekuensinya pajak daerah tinggi dan subsidi ke penduduknya kurang. Pilihan saya jatuh kepada daerah Itami karena sewa properti masih terbilang rasional, akses mudah, dan memiliki pendapatan asli daerah non pajak yang cukup besar karena menyewakan bandara Itami kepada Osaka Prefektur. Pilihan itu tidak salah karena ternyata memang pajak daerah Itami lebih rendah dibanding Osaka, biaya kesehatan untuk anak gratis hingga kelas 6 SD, tunjangan anak lumayan besar, tunjangan kelahiran yg besar, dan berbagai macam fasilitas layanan publik lainnya. Bahkan untuk urusan cetak kartu domisili atau keterangan pajak digratiskan jika membuat e-card khusus penduduk Itami karena pelayanan menggunakan vending machine otomatis yang tentunya menghilangkan biaya personnel.
Malam kemaren dua orang teman pegawai bank pemerintah dari Timor Leste itu bercerita bagaimana kehidupan di negara kecil eks bagian Indonesia itu. Secara umum mereka mengaku puas dengan kinerja pemerintahan mereka karena meskipun kebutuhan sekunder dan mewah seperti kendaraan, handphone, komputer, jam tangan, dan barang-barang semacam itu sulit terjangkau, tapi kebutuhan pokok mereka seperti listrik, air, pendidikan, dan kesehatan bisa diperoleh dengan mudah karena disediakan secara gratis oleh pemerintah.
Jika menurut informasi kawan itu, sebenarnya pendapatan asli negara Timor Leste boleh dikatakan terbatas karena mayoritas hanya mengandalkan kekayaan alam berupa minyak bumi dan gas alam. Itupun masih harus berbagi dengan Australia yg memegang hak pengelolaan sumber daya alam mereka saat ini dalam jangka waktu yang fantastis yaitu sekitar 70 tahun sebagai ‘upah’ membantu mereka ‘merdeka’ dari Indonesia.
Sebagai negara belia, mereka belum memiliki industri dalam negeri yang bisa dijadikan ladang pendapatan negara dari sektor pajak usaha. Beras mereka impor dari Indonesia dan belakangan dari Thailand dan Vietnam. Motor dan mobil dari Indonesia dan katanya ada banyak yang merupakan selundupan yang dilakukan dengan mengupah tentara mereka untuk membelikan di wilayah Indonesia. Para tentara bayaran itu akan melewati perbatasan Timor-Indonesia dengan jalan kaki lalu pulang naik motor yang sudah lengkap surat-suratnya versi Indonesia tapi sebenarnya ilegal di negeri mereka. Para soldier fortune itu dapat broker fee, sang pembeli pun senang dengan motor barunya.
Beruntung pemimpin mereka mengambil kebijakan moneter yang tepat dengan menjadikan USD sebagai mata uang resmi negara mini itu sehingga ekonomi mereka terbebas dari pergolakan nilai mata uang asing. Dengan USD, inflasi yang disebabkan oleh naik turunnya valas menjadi nol, tentu saja pada proporsi perdagangan luar negeri yang menggunakan mata uang tersebut.
Belakangan para generasi muda Timor itu sudah mulai sadar bahwa mereka terlalu ‘nurut’ kepada Australia atau Portugal dan sudah mulai muncul tuntutan untuk ‘membebaskan diri’ dari kedua negara sponsor itu. Bahkan menurut kawan itu sempat terjadi demo dari kalangan generasi muda yang menolak campur tangan asing dalam pengelolaan sumur minyak dan gas yang baru ditemukan.
Sekecil apapun ukurannya, pembiayaan negara pasti tidak sedikit . Menggaji PNS, membangun infrastruktur, menyediakan fasilitas umum, menyediakan cadangan devisa untuk perdagangan LN, membayar iuran keanggotaan anu, keanggotaan itu, dll. Tapi hebatnya, dengan pendapatan yang ‘tidak seberapa’ (sayang sekali saya tidak punya angka dan mereka juga enggan menyebutnya) negara mini itu mampu menggratiskan kebutuhan pokok rakyatnya. Saya jadi termenung dan jadi bertanya-tanya mengapa Papua dengan Garsberg-nya atau Sulawesi Selatan dengan tambang nikel Soroako-nya atau beberapa propinsi dengan sumur-sumur minyak dan ladang gasnya tak mampu melakukan hal tersebut? Saya memang belum berhitung seberapa besar penghasilan tambang kekayaan alam dan berapa banyak penduduk yang harus dibagi. Tapi saya yakin bahwa dari salah satu contoh yang saya sebut itu nilainya tidak akan lebih kecil dibanding perbandingan pendapatan Timor Leste berbanding jumlah rakyatnya.
Tapi pemerintah mereka melakukannya, sementara pemerintah daerah-daerah kaya di Indonesia tidak mampu (atau tidak mau?) melakukannya. Seandainya pemerintah pusat memberlakukan hak otonomi daerah dan pembagian hasil kekayaan alam dengan adil (bukan merata ya), maka tidak butuh orang pintar untuk berhitung bahwa seharusnya bandara terbesar dan tercanggih di Indonesia ada di Papua. Kereta cepat nan mahal dengan kecepatan 250km/jam bukan dibangun untuk rute dari Jakarta ke Bandung yg jaraknya cuma 200km, tapi mungkin dari Sorong ke Jayapura, pelabuhan laut termegah akan berdiri di bibir pantai Papua, mall-mall indah dan shopping center megah akan berdiri di kota Sorong, Jayapura, Timika, Manokwari, dll.
Ketika eyang Habibie pertama kali muncul di lingkaran satu istana sekitar 20 tahun lalu, ada harapan besar bahwa pusat kegiatan pembangunan infrastruktur akan berpindah dari Jawa ke arah Timur Indonesia. Sayang sekali beliau hanya bertahan dalam waktu terlalu singkat untuk sempat melakukan perubahan. Sehabis itu beberapa putra timur juga bermunculan di lingkar satu dan dua pemerintahan pusat, tapi sayang sekali kelihatannya tak mampu men-drive dengan kuat sehingga tetap saja kebijakan untuk daerah timur hanya terasa seperti lip service sebagaimana masa orde sebelumnya.
Di Amerika selama ratusan tahun orang kulit hitam dipinggirkan oleh ras anglo saxon. Semua itu baru mulai terhenti setelah Barack Obama yang merupakan representasi dari kalangan kulit hitam menduduki jabatan tertinggi dan paling bergengsi di negeri itu yaitu President of United States of America.
Mungkin, kebijakan pemerintah pusat kita akan memihak ke timur secara penuh jika presiden kita adalah orang asli Papua.
Bagi saudaraku atau kawanku yang asli Papua, kalau anda adalah generasi muda muslim yang memiliki ambisi besar, intelektual tinggi, berpendidikan bagus, melek politik, memiliki jaringan, peduli pada rakyat Indonesia, mau memajukan Papua, dan punya modal (atau minimal sponsor yang kuat), saya menantang anda semua untuk maju tampil ke depan. Jangan tanggung-tanggung, kalau anda hanya bercita-cita memerdekakan Papua dan mengincar kursi pejabat di negara baru itu nanti, maka cita-cita anda terlalu kecil. Kami menantang anda maju untuk mengincar posisi RI-1 atau RI-2!
Negara itu adalah kendaraan untuk mensejahterakan rakyatnya. Kita sudah punya kendaraan bernama NKRI. Kalau penumpangnya belum sejahtera, itu bukan karena kendaraannya yang buruk, tapi mungkin karena sopirnya yang kurang mampu, keneknya yang lamban, atau kondektur-kondekturnya yang payah. Jadilah sopir, kenek, atau kondektur agar mampu mengendalikan kendaraan ini untuk mensejahterakan penumpang mobil di pulau anda. Kalau Obama bisa, kenapa anda tidak?