Terakhir kali saya ketemu langsung dengan pak Firman sekitar April tahun lalu ketika saya baru kembali ke Indonesia dan diajak pak Firman makan malam di Nishimura Restaurant yang ada di lantai basement hotel Shangrila Jakarta. Pak Firman sangat senang dengan teppan-yaki di restoran Jepang tersebut sehingga saya hampir yakin bahwa kali ini ketika diajak makan malam dan mengobrol langsung tentang EN, lokasinya pasti Nishimura Restaurant. Perkiraan saya tidak meleset ketika akhirnya pak Firman konfirmasi kalau kami akan akan ketemuan di restoran tersebut. Malam itu seperti 2 pertemuan sebelumnya, saya bersama Abdi, ketua EN yang kebetulan sedang berada di Indonesia karena dinas dari kantor.
Pak Firman agak telat karena hari itu sehabis mengisi acara pelatihan untuk petinggi-petinggi BNI dari daerah. Akhirnya saya dan Abdi duluan nongkrong di private room yang sudah dipesan pak Firman. Tapi hanya beberapa menit, akhirnya pak Firman datang dengan senyum lebar dan menjabat tangan kami. Saya memperkenalkan Abdi kepada pak Firman dan kami mulai terlibat percakapan seru sambil ditemani koki yang mulai memasak di teppan di depan kami. Nyaris setahun tak bertemu, pak Firman masih tetap kelihatan segar dan enerjik. Aura positif dan semangat yang selalu menggebu-gebu terpancar kuat dari diri pak Firman. Dalam beberapa kali pertemuan dengan orang-orang sukses, aura berwibawa memang selalu terpancar, baik itu pada pejabat pemerintahan seperti pak Hidayat (Menteri Perindustrian), pak Taufiq (Senior Adviser Menteri UKM), maupun pada enterpreneur atau profesional seperti pak Heru dan pak Firman ini. Tapi hanya profesional atau enterpreneur yang memancarkan aura antusiasme tinggi seperti yang terpancar dari diri pak Firman.
Ketika kami mulai membahas tentang buku yang kami beri judul “Bekerja Ala Jepang” dan kami tulis keroyokan, pak Firman menyambut dengan antusias. Beliau juga sepaham dengan kami bahwa untuk bisa memajukan industri, maka terlebih dahulu kita perlu menyuburkan nilai-nilai baik yang dianut oleh pelaku-pelaku industri. Kalau dalam ungkapan terkenal di dunia HRD di Jepang, “monozukuri no mae, mazu wa hito zukuri desu” (sebelum bicara tentang manufaktur, maka terlebih dahulu harus bicara tentang penciptaan SDM yang unggul). Ungkapan ini kemudian diperdalam maknanya dari sudut pandang seorang profesional oleh pak Firman dalam bahasa yang sangat mengena di kalimat testimoni yang beliau tulis untuk buku kami. Saya tidak akan menuliskan golden sentence itu di artikel ini karena kalimat itu copyrightnya ada di beliau dan harus diterbitkan dulu supaya bisa terlindungi haknya. Jika ingin tahu, silakan nanti beli buku kami (promosi dikit …. hehehehe).
Awalnya kami hanya berniat meminta testimoni dari pak Firman, tapi beliau kemudian juga menawarkan sponsorship dan membuka kesempatan untuk mendayagunakan buku tersebut dengan membagikannya pada acara-acara Kampung BNI, termasuk acara gerakan monozukuri yang digawangi Panasonic dan didukung penuh oleh BNI. Beliau bahkan menawarkan penggunaan ballroom Shangrila untuk peluncuran buku kami. Sebagai kepala divisi di BNI, beliau memang memiliki akses luas untuk menghubungkan BNI dengan kegiatan-kegiatan yang bisa selaras misi BNI, apalagi pada saat tukar kartu nama tahun lalu, saya lihat beliau menjabat sebagai Senior Vice President BNI. Pak Firman juga dengan antusias menceritakan tentang program kemitraan Kampoeng BNI yang sudah berjumlah 20 buah dan tersebar di seluruh Indonesia. Program kemitraan yang bertujuan mendayagunakan potensi kampung-kampung binaan BNI dan menumbuhkan enterpreuner-enterpreneur baru itu sangat sejalan dengan misi EN dalam memandirikan industri nasional. Mungkin karena kesamaan misi itulah sehingga obrolan kami jadi menarik sehingga tanpa terasa jam menunjukkan pukul 21 malam.
Kami mengucapkan terima kasih, berjabat tangan dan berpisah di lobi hotel.