Dibandingkan belasan tahun lalu kawasan yang sedari dulu terkenal dengan pusat oleh-oleh Makassar di jalan Sulawesi itu tidak terlalu banyak berubah. Deretan toko dengan tempat parkir di depan toko yang padat dan semrawut, lalu lalang kendaraan yang padat merayap, dan rombongan turis lokal dan sesekali terlihat turis asing. Yang berbeda adalah komposisi kendaraan yang terlihat didominasi roda empat dibanding roda dua, pertanda kemajuan ekonomi daerah tanah kelahiranku yang memang sejak dulu terkenal sebagai penghasil cengkeh, coklat, produk ikan olahan, hingga perannya sebagai pusat perdagangan di Indonesia Timur. Toko yang kami masuki kami pilih karena billboard besar di depan toko yang menjorok hingga ke jalan di ketinggian 4-5 meter di atas permukaan tanah. Nama tokonya sederhana dan mudah diingat, CA**Y*, dengan positioning statement yang jelas “Pusat Oleh-Oleh Makassar”.
Tokonya tidak begitu luas, mungkin hanya 6x6m, tapi pengaturan barangnya cukup efisien sehingga positioning toko betul-betul sejalan dengan line up produk yang mereka tawarkan. Mereka memiliki nyaris semua jenis yang bisa dicari oleh pemburu oleh-oleh Makassar, mulai dari kacang disco, Minyak Tawon, ukiran Toraja, gantungan kunci khas Makassar, baju kaos bertuliskan Makassar, hingga sarung sutra dan koleksi awetan kupu-kupu dari Bantimurung. You name it, they have it!
Belanja kami cukup lama karena si sulung Aisha memilih 38 buah gantungan kunci untuk teman sekelasnya di Al Azhar, sementara si Abang Adnan pun ngga mau kalah dan menyisihkan 28 buah. Untuk beberapa tetangga dekat dan teman-teman yang lain kami memilihkan minyak tawon, makanan kecil, dan beberapa pernak-pernik lainnya. Semuanya berjalan mulus, penjaga toko yang sepertinya terlalu banyak karena ada sekitar 6 orang untuk toko ukuran 36m-an, juga ramah dan cukup membantu, walaupun beberapa dari mereka alih-alih melayani malah ngobrol di sudut rak. Di depan saya sepasang suami istri yang tampaknya dari daerah selatan dialek Makassar yang dikenal turatea, sedang dilayani. Mereka tampaknya sehabis berlibur dan memilih oleh-oleh khas Makassar yang kombinasinya cukup mirip, gantungan kunci, keripik, dan minyak tawon. Pada saat mereka mengangkat beberapa gantungan kunci, bungkus plastiknya terlihat agak basah oleh minyak. Ternyata salah satu botol minyak tawon yang mereka pilih ada yang pecah sehingga isinya merembes keluar dan membasahi barang lain. Minyak gosok yang pecah itu disisihkan oleh staf cash register dan setelah semua dihitung kecuali minyak tersebut, si ibu yg berusia 40 tahunan itu berteriak memanggil staf yang tadi berjaga di rak minyak tawon.
Awalnya saya berpikir bahwa dia memanggil staf tersebut untuk meminta dibawakan ganti minyak yang pecah tersebut. Tapi alih-alih minta ganti, si ibu itu malah nanya dengan suara keras “Tadi waktu minyak tawon ini diambil sama si Bapak jni, picca (pecah) ndak?”. Si staf yang jaga tentu saja menjawab “tidak” karena pasti dia yang akan bertanggung jawab kalau sampai memajang barang rusak. Si Bapak depan saya mulai mencium gelagat yang tidak baik dari si ibu pelayan cash register tersebut, dia berusaha membela diri dengan berkata :
“Tadi waktu di rak memang tidak pecah, tapi waktu saya kasi’ pindah mi dari keranjang tiba-tiba keluarki minnyaknya”
Sang istri ikut menambahkan :
“Masa’ mamo dikasi’ pindahji dari keranjang na picca, ka anu picca memang kapang” (masak iya dipindahin dari keranjang saja bisa pecah, mungkin memang sudah pecah duluan)
Si pelayan cash register tetap ngotot :
“Tapi nabilang itu penjagayya tidak picca waktu dipajang” (Tapi kata yang jaga, tidak pecah waktu dipajang)
2 pemikiran pada “Oleh-oleh Kesan Buruk Oleh Kasir Toko Oleh-oleh”
jadi inget pengalaman saya saat mengumpulkan bahan belajar di makasar. Tepatnya di toraja..disana senyum kayanya menjadi barang yang mahal.
Punya pengalaman buruk juga mas? Disharing supaya orang tahu dan menjadi pelajaran bagi pelaku usaha.