Tak terasa hampir setahun sejak penugasan ke Indonesia akhir maret tahun 2012 lalu. Awalnya dipenuhi ketidakpastian, khawatir, tapi sekaligus hope yang bercampur aduk begitu saja menciptakan sebuah harmoni tersendiri bagi kehidupan keluarga kami. Anak-anak sudah nyaris lupa tentang kehidupannya di Jepang, kecuali sekolah mereka, Kappa Sushi, dan mobil keluarga kami dulu. Walaupun saya selalu menggunakan bahasa Jepang ketika bercakap dengan mereka, sudah mulai timbul keengganan mereka untuk merespon dalam bahasa Jepang. Tampaknya mereka mulai masuk zona nyaman dengan bahasa ibunya, bahasa Indonesia. kalau saya tidak bersikeras tetap nihonggo, mereka mungkin sama sekali akan lupa.
Renovasi rumah juga alhamdulillah sudah hampir beres, tinggal kolam ikan, dan sepetak kebun mini yang belum selesai. Jika semuanya beres, maka kegiatan mingguan seperti di Itami dulu yaitu berkebun, akan dimulai lagi. Kali ini tampaknya akan lebih seru karena ditambahi dengan mengurus kolam ikan yang mungkin bisa memuat gurame hingga 20 ekor-an.
Secara perlahan reversed culture shock yang awalnya menghinggapi kami mulai memudar dan kami mulai bisa menerima kenyataan sehari-hari sebagai suatu budaya, walaupun tentu saja kami harus berjuang keras untuk selalu mengingatkan anak-anak tentang budaya-budaya buruk yang tak boleh mereka tiru. Sudah lebih dari sekali mereka bertanya kenapa pak sopir jemputan mereka kok membuang sampah ke jalan atau bahkan kehalaman rumah kami, sementara papa selalu mengantongi sampah dan membuangnya di kantong sampah di rumah. Saat berkendara pun kami harus kembali mengingatkan bahwa kita harus tetap sopan dan tertib walaupun sekeliling kita orang parkir di bawah tanda S, menyerobot di antrian tol, atau membunyikan klakson seperti orang marah-marah. Meskipun saya akhirnya memecahkan rekor 7 kali klakson selama 4 tahun nyetir di Jepang. Beberapa hari yang lalu jumlah klakson saya akhirnya menembus angka 8 kali selama setahun ini.
Tapi satu hal yang ternikmat selama setahun ini adalah saya tidak pernah lagi alpa sholat jumat. Dan saya juga tidak perlu pusing-pusing cari arah kiblat setiap kali mau sholat karena cukup singgah di pinggir jalan manapun selalu ada musholla atau masjid.
Setahun hampir berakhir yang berarti jatah kenikmatan ini tinggal 5 tahunan lagi. Apakah saya akan memilih seperti yang sekarang atau menjadi bosan dan kembali ke dunia asing yang ramah. Sebuah pertanyaan yang belum mampu saya jawab saat ini. Tapi setidaknya kondisi seperti ini sering menjadi perenungan yang mengingatkan saya untuk menyadari bahwa semua ini hanya sementara, bukan hanya keberadaan saya di negeri sendiri ini, tapi juga keberadaan saya di dunia ini. Pantas saja Rasulullah SAW mengingatkan kita untuk bertindak laksana orang asing di dunia ini. Karena dengan demikianlah kita menjadi sadar bahwa hidup ini tidak selamanya dan akan ada kehidupan selanjutnya. Bagi yang berbekal cukup maka akan berbahagialah, dan celakalah bagi yang lalai, naudzubillahi min zalik.