Garuda Airlines, Kapankah Bisa Berubah Lebih Baik?

Malam sudah hampir jatuh ketika kami memasuki kawasan bandara sultan Hasanuddin Makassar yang terlihat megah dengan segala fasilitas barunya. Saya menurunkan koper dari mobil dengan perlahan karena kami tiba sekitar pukul 17:30 sementara menurut informasi Garuda Call?Center yg saya hubungi dengan telpon memastikan pesawat akan telat sejam menjadi pukul 19:20. Tapi setiba di pelataran beranda, jantung saya sontak berdebar keras ketika melihat display jadwal pesawat yg menunjukkan angka 18:00, saya langsung memberitahu keluarga yg mengantar bahwa sepertinya lagi2 Garuda mengubah jadwal keberangkatan dan kami akan ketinggalan pesawat kalau tidak segera check-in.

Setengah berlari saya mendorong dua koper besar dan beberapa buah tas kecil, sambil menggendong Aisha, di belakang saya menyusul istri saya, Dewi, sambil terengah-engah menggendong Adnan. Kami akhirnya mencapai meja check-in dalam keadaan hampir kehabisan nafas.

Saya bertanya apakah kami tidak terlambat dan staf Garuda itu hanya menunjukkan kertas pengumuman berukuran A4 yg memberikan informasi seperti yg telah saya ketahui dari Garuda Call Center. Saya langsung bertanya lagi kenapa display jam keberangkatan di monitor di seluruh bandara itu menunjukkan pukul 18:00 kalau memang berangkatnya jam 19:20, staf itu tersenyum yg sepertinya menertawakan keadaan kami yg basah kuyup oleh keringat dan menjawab dengan cueknya :

Itu salahnya angkasa pura pak, Garuda sudah bilang tapi tidak diubah.

Seandainya boleh, ingin rasanya menimpuki staf itu dengan koper besar yg beratnya 40 kilo-an itu saking jengkelnya melihat sikap dan ketidakacuhannya terhadap pelanggan. Bagi kami yg sudah direpotkan karena tertipu oleh informasi salah di layar monitor, tidak masalah yg salah siapa, yg paling penting adalah seharusnya Garuda mengambil inisiatif mencari cara agar penumpang yg datang langsung tahu kalau jadwal di layar monitor itu salah dan pesawat GA617 memang terlambat berangkat. Entah itu dengan pengumuman yg diulang-ulang via pengeras suara ataukah selembar kertas A0 yang ditulis tangan pakai spidol pun tak apa-apa. Harga selembar kertas A0 dan sepotong spidol tdk seberapa jika dibandingkan kehilangan pelanggan yg karena kesalnya bisa2 tidak akan menggunakan Garuda lagi seumur hidup. Pesawat yg kami tumpangi akhirnya berangkat selewat jam 19:30, telat beberapa menit dari jadwalnya yg memang sudah telat.

Setiba di Bali, kami mengisi perut di resto makanan Indonesia, sehabis itu kami langsung menuju konter Garuda dan berharap bahwa malam ini kami bisa terbang dan tiba esok pagi di Osaka. Tapi kami salah besar.Selembar kertas kecil ukuran A4 tertempel layu di meja konter cek in yg menginfokan bahwa pesawat menuju Osaka akan telat dan berangkat jam 4:30 subuh. Saya cuma bisa pasrah dan menatap kasihan ke anak2 kami yg udah mulai mengantuk. Kami harus menghabiskan waktu 6 jam lagi di bandara.

Tapi ternyata kami salah kira lagi, lagi2 kami harus kecewa.

Sekitar jam 3an kami sudah standby di gate no.9 karena informasi dari petugas menginstruksikan demikian, seratusan lebih penumpang yg hampir seluruhnya orang Jepang, kecuali 2-3 orang, tampak lusuh wajahnya dan kecapekan. Dengan tertib mereka masuk dan menunggu di gerbang pintu masuk. Selewat jam 4 subuh penumpang mulai gelisah karena tidak ada tanda2 boarding akan dimulai. Kami dan beberapa penumpang mulai berdiri di depan pintu karena berharap proses boarding segera dimulai. Hanya saja saya sendiri mulai was-was karena tidak ada aktifitas apa pun di pesawat yg standby dan petugas yg ada di gerbang masuk pun hanya 2 orang dan mereka tampak santai. Jam 04:30 mulai terlewati tapi belum ada info apa pun, penumpang mulai gelisah. Akhirnya kewas-wasan saya terjawab setelah mengalir pengumuman yang menginfokan bahwa GA 882 yg akan kami tumpangi dibatalkan keberangkatannya karena alasan klasik, ALASAN OPERASIONAL. Penerbangan akan diundur lagi ke jam 10 pagi keesokan harinya.

Kegelisahan penumpang berubah menjadi kemarahan, mereka berkumpul di depan meja gerbang dan mengerubungi petugas yang terlihat bingung. Kesalahan terbesar Garuda adalah ketidak acuhan mereka yang hanya menaruh petugas darat dari Garuda Link yang tidak punya wewenang dan akses informasi secara langsung ke pihak berwenang.

Penumpang yang sudah berjam-jam menunggu dengan antusias memborbardir petugas yang kewalahan karena hanya bisa menjawab dengan informasi terbatas. Kebanyakan penumpang yg tidak bisa berbahasa inggris hanya bengong mendengar penjelasan yg mengalir dalam bahasa inggris, karena kasihan akhirnya saya berusaha menjelaskan dalam bahasa jepang tentang isi pengumuman.Kerumunan penumpang yang marah mulai merongrong dengan pertanyaan yg bertubi-tubi, seorang penumpang orang Jepang yg bisa bahasa Ingris sepotong-sepotong berusaha menerjemahkan sebisanya. Saya hanya diam saja dan tidak berusaha masuk menjadi penengah hingga akhirnya isi terjemahan menjadi tersendat. Saya kemudian menjadi penyambung lidah karena prihatin melihat wajah2 bingung di kerumunan itu. Salah seorang penumpang yg ingin menanyakan sesuatu melihat ke arah saya dan bertanya ke saya :

“???????????????????????????????”(Bisa bahasa Indonesia kan ya? Bisa tolong terjemahkan?)

Saya tersenyum dan menjawab :

“????????????????” (Silakan, saya orang Indonesia kok. )

Si ibu tampak bingung tapi kemudian mengajukan pertanyaan yg ditimpali oleh suaminya. Mereka bertanya apa wujud dari tanggung jawab Garuda atas penundaan penerbangan tersebut. Dengan percaya diri staf Garuda Link yg ada di situ menjawab :

“Kami akan menyediakan makan pagi gratis”

Saya hampir ngakak mendengar jawaban lucu itu kalau tidak ingat adnan yg tidur di gendongan tangan saya.Saya menerjemahkan jawaban staf itu dan beberapa orang yg ada di belakang tidak bisa menahan ketawanya. Setelah penanya itu menimpali jawab staf, dengan cepat saya jelaskan kepada staf Garuda bahwa menyediakan makan pagi gratis itu bukan kompensasi karena sudah merupakan kewajiban Garuda yang telah menelantarkan ratusan penumpangnya, yg mereka tanyakan itu adalah tanggung jawab Garuda untuk mengganti biaya dari waktu, tenaga, dan biaya2 ekstra yg akan timbul di dalam negeri Jepang karena keterlambatan mereka tiba di Jepang.

Orang2 Jepang itu berusaha meminta agar kompensasi Garuda bisa menyamai perlakuan JAL pada situasi seperti ini yaitu pengembalian biaya tiket penuh kepada penumpang. Staf Garuda itu lagi-lagi menjawab dengan pedenya.

“Sama pak, Garuda juga ganti.”

Saya tersenyum dan berkata dengan cepat,

“Pak, jangan asal ngomong”

Akhirnya staf itu jadi kelihatan bingung, untungnya saya tdk menerjemahkan seluruh kata2nya, kalau tidak maka penumpang itu akan menuntut pengembalian biaya tiket yang bisa mengakibatkan kerugian puluhan juta rupiah bagi Garuda.

Karena kompensasi berupa dana kembali penuh tidak bisa dijawab, maka penumpang2 itu meminta paling tidak Garuda bertanggung jawab atas biaya2 transportasi yang timbul akibat keterlambatan penerbangan. Staf itu lagi-lagi menjawab dengan sekenanya bahwa Garuda tidak bisa mengkompensasi waktu atau pekerjaan yang tertunda akibat flight cancel ini tapi Garuda akan mengganti seluruh biaya perjalanan dalam negeri di Jepang yang berubah.

“Semua pak? shinkansen, kereta, bis, pesawat?” Tanya saya

“Semua, pokoknya kita akan tanggung” Jawab staf Garuda

“Jangan asal ngomong deh pak, coba pikir bagaimana caranya Garuda Jepang akan menghitung dan mengganti biaya2 itu?” Tukas saya dalam bahasa Indonesia dan berharap bahwa pembicaraan kami tidak ada yang mengerti selain orang2 Indonesia. Karena merasa tidak ada gunanya ngomong saya menarik diri ke belakang sementara masih banyak penumpang yang penasaran dengan apa sebabnya sampai pesawat batal berangkat.

Penumpang lain tampaknya sudah putus asa dan ketulung marah, beberapa di antara mereka menggerutu di belakang.

“???????” (Garuda pembohong)

Staf mendekati saya dan menawarkan hotel untuk kami sekeluarga karena Adnan dan Aisha tampak mengantuk berat. Saya menampik tawaran itu dan memilih gelar selimut di lantai. Saya tak begitu percaya lagi bahwa pihak Garuda akan mengurus kebutuhan kami dan malah khawatir kalau2 kami malah ketinggalan pesawat jika beristirahat di hotel. Saya meraih HP softbank dan berusaha menelpon ke pak Faik Fahmi, manajer Garuda untuk Asia Pasifik yang berkantor di Tokyo. Telpon masuk tapi tidak diangkat, mungkin masih tidur karena baru sekitar jam 5 subuh waktu Jepang.

Beberapa penumpang mulai menelpon keluarga dan koleganya di Jepang di telpon umum yang kebetulan dekat tempat kami berada. Mungkin karena tidak mengira ada orang Indonesia yang bisa mengerti bahasa Jepang, penelpon itu dengan suara yang agak besar menyalahkan dan menuduh Garuda telah membohongi penumpang karena tidak memberitahu penumpang apa sebenarnya sebab pesawat yang ditunda keberangkatannya malah dibatalkan begitu saja. Mereka mulai menghubung-hubungkan antara penundaan pesawat dengan serangan Israel ke jalur Gaza beberapa hari sebelumnya.

“????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????” (Garuda udah ngebohongin kita. jangan2 ada pembajakan pesawat dalam negeri (Indonesia) sampai2 berefek ke pesawat yg akan kami tumpangi. Tempo hari Israel kan nyerang Palestina. Saya juga tidak tahu, apakah pesawat yg akan kami naiki juga apakah akan selamat sampai di Jepang atau tidak. Pokoknya tolong beritahukan seluruh keluarga situasi ini, siapa tahu kita mungkin tidak ketemu lagi)

Demikian isi percakapan seseorang yang menelpon keluarganya di Jepang. Saya agak geli juga mendengarnya tapi sekaligus sadar bahwa orang Jepang tidak bisa disalahkan kalau berpikir seperti itu. Karena khawatir keadaan makin runyam saya mencoba lagi menelpon pak Fahmi. Sebenarnya saya ingin menelpon pak Asa saja yang menjabat manajer Garuda di Osaka, tapi berhubung nomor HP pak Asa belum saya input ke HP dan kartu nama beliau tidak ada di dompet maka terpaksapak Faik ygsaya kontak. Akhirnya telpon diangkat dan dengan cepat saya menjelaskan situasi terutama bahaya yang bisa ditimbulkan akibat omongan sembarangan staf Garuda lokal. Saya juga menekankan pentingnya tindak cepat Garuda untuk menginformasikan apa kompensasi yg akan diberikan kepada penumpang setiba di Jepang supaya mereka menjadi agak tenang dan bisa menerima keadaan. Menurut beliau setiap penumpang dewasa dan bayi akan diberi pengembalian dana 10.000yen dan bayi 5.000yen. Saya menekankan perlunya pemberitahuan itu dilakukan Garuda secara tertulis dan bukan hanya omongan lisan agar mereka menjadi yakin karena kebanyakan dari mereka sudah terlanjur tidak mempercayai lagi pihak Garuda. HP saya serahkan ke staf darat dan pak Faik ngomong langsung. Sehabis itu saya menarik diri dan istirahat bersama keluarga di atas lantai ruang tunggu beralaskan selimut dari Garuda. Makan pagi untuk penumpang dibawa masuk oleh staf Garuda tapi mereka tampaknya tidak begitu berminat melayani karena troli itu dibiarkan begitu saja dan malah menyuruh penumpang mengambil sendiri. Penumpang2 yg hampir seluruhnya orang Jepang itu akhirnya self service sendiri, dan hebatnya mereka mendahulukan anak2 dan orang tua. Beberapa penumpang membawakan kami makanan dan minuman, sementara staf Garuda hanya ongkang-ongkang kaki menyaksikan dari kejauhan. Sehabis makanpun troli dibereskan lagi oleh penumpang dan ditaruh di tempatnya semula. Staf Garuda? Malah senyum-senyum. Ketika seorang penumpang yg membereskan itu bertanya dengan bahasan tubuh apakah cukup ditaruh di situ, boro2 mengucap terima kasih, staf itu hanya menjawab singkat “OK”. Sungguh tak tahu malu, pikir saya.

Setelah sholat shubuh saya jalan2 sedikit meregangkan otot. Penghuni bandara Ngurah Rai mulai bermunculan untuk melakukan aktifitas keseharian. Kami sekeluarga kemudian makan pagi di restoran yg ditunjuk Garuda dengan gratis. Sandwich dan segelas kopi lumayan juga mengisi perut. Sudah lebih 10 jam kami berada di bandara itu.

Sesuai instruksi staf Garuda, penumpang mulai berkumpul lagi di gate 9 sekitar jam 9 pagi. Kebanyakan bermuka lusuh kurang tidur, gelisah, dan khawatir. Beberapa penumpang mendekati saya dan bertanya apakah betul2 pesawat akan berangkat jam 10 pagi ini, karena saya juga tidak tahu jawaban yang pasti maka saya kembali mendekati petugas dan mereka menjawab bahwa pasti akan berangkat. Saya hanya meneruskan jawaban itu ke dalam bahasa Jepang sembari khawatir karena petugas darat di sekitar pesawat belum menampakkan kegiatan seperti layaknya kalau pesawat akan berangkat. Sekitar 9:30 barulah staf mulai sibuk berlarian.

Ketika menjelang jam 10:00 belum juga ada pengumuman apa pun dari Garuda penumpang kembali gelisah, saya bolak-balik bertanya dan ditanya. Hingga akhirnya lewat 10 menit, proses boarding baru dimulai.

Jam menunjukkan 10:30-an ketika akhirnya kami meninggalkan Ngurah Rai yang berarti kami sekeluarga menghabiskan 14 jam berada di bandara tanpa bisa apa-apa. Sungguh perjalanan yang tidak menyenangkan.

5 pemikiran pada “Garuda Airlines, Kapankah Bisa Berubah Lebih Baik?

  1. kalau saya pribadi sih lebih memilih airlines luar daripada Garuda untuk penerbangan luar negeri, disamping kualitasnya lebih baik, kita juga tidak akan menyesal. Pernah suatu saat saya ke Surabaya memakai Garuda, batas antara Business dan Economy Class hanya di batasi oleh tali rafia… kemana tuh masa beli korden aja ga bisa, uangnya dimakan para atasannya mungkin

  2. sedih,prihatin liat GARUDA ku seperi itu
    bwt sempai arif n keluarga,.. berasa bgt capexnya
    salam

  3. wah bener2 keterlaluan dech staf garuda …..klo gtuw terus bisa2 ga laku tuh garuda, g profesional bgt, mungkin masih banyak kasus yang sama yang ga terekspos

  4. Memang nggak enak juga mendengarnya pak. Saya kerja di Catering di Airport Osaka, kadang-kadang menghandle Garuda. Kalau dibandingkan dengan Airline lain jauh benar kualitas kerjanya pak. Ngobrol, makan, nggak acuh…

    Mungkin karena terbiasa dengan sistem kerja Jepang kali ya pak, jadi kaget ngeliatnya. Ya mudah-mudahan ke depannya Garuda bisa berubah ke depannya.

Tuliskan komentar anda

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.