Matahari musim semi sudah terkantuk-kantuk di ufuk barat ketika saya menuntun istri saya, Dewi, tertatih-tatih menyeberangi jalan raya lebar yang lengang menuju Kobe Chuo Shimin Byouin yang berjarak sekitar 150 meter dari apartemen yang kami tempati. Guguran bunga sakura di pinggir jalan seolah memberi semangat kepada Dewi yang sudah meringis menahan sakit di perut bagian bawah. Berulang kali saya menawarkan diri untuk mengambilkan kursi dorong yang tersedia di lobbi rumah sakit, beberapa puluh meter di depan kami. Tapi Dewi tetap keukeuh ingin jalan, “malu dilihat orang”, katanya tabah. Akhirnya kami tiba sekitar setengah jam kemudian, padahal jarak itu sebenarnya bisa ditempuh dalam waktu kurang dari 5 menit. Ia akhirnya mengangguk ketika sekali kutawarkan kursi roda, tampaknya rasa sakit sudah tak tertahan. Kami akhirnya tiba di lantai 7 sayap selatan rumah sakit andalan kota Kobe itu. Setelah diperiksa oleh dokter, diyakini bahwa adek sudah mulai merangsek dan Dewi harus nginap.
Setelah masuk kamar tunggu bersalin, saya bergegas pulang untuk menyiapkan beberapa barang yang tertinggal seperti dokumen pendaftaran dan surat kuasa kepada pihak rumah sakit dalam penanganan pasien jika pada proses berdalin dibutuhkan transfusi darah. Sekembali di rumah sakit, suster memberitahu bahwa proses pembukaan rahim sudah mencapai 6-7 sentimeter. Saya sudah deg-degan karena anak pertama kami Aisha, ngebrojol pada pembukaan 8 cm. Saya semakin bingung ketika sadar bahwa saya lupa mengambil handycam. Akhirnya walaupun sudah khawatir keluar duluan, saya nekat kembali ke apartemen dan menyambar handycam, berpamitan dengan Bapak dan Mama yang berpesan supaya hati2, lalu ngabur ke rumah sakit lagi.
Ketika tiba, kamar pasien sudah kosong. Dewi sudah masuk di ruang bersalin dan suster yang menangani memberitahu kalau pembukaan sudah mencapai 8 cm. Saya dipersilakan menemani Dewi yang sudah mulai mengerang kesakitan.
“Istighfar, Astagfirullahul adzim. La haula wa laa quwatan illa billah” bisik saya di telinganya. Dewi mengikuti sembari mengambil nafas teratur supaya jabang bayi bisa keluar. Sembari menahan genggaman tangannya yang mencengkeram sangat kuat saya mempersiapkan rekaman tadarrusan surah Yusuf di palm top dan menaruh earphone di samping telinga Dewi.
“Donna onggaku desu ka (musik apaan itu)?” tanya suster.
“Jitsu wa, onggaku janai desu. Kore wa Koran desu (sebenarnya bukan lagu, ini Quran)” jawab saya.
“Aaa, koran desu ne (Aaa….Quran ya)” timpalnya heran.
“Sou desu, kore wo kiitara kokoro ga ochitsukun desu (Iya, kalau dengerin ini hati jadi tenang)” jawab saya.
Suster terlihat manggut2, entah pura2 mengerti atau sekedar menyenangkan hati kami. Alhamdulillah, kami diberi nur Islam, mbatin saya dalam hati.
Dewi terlihat agak tenang setelah mendengar alunan ayat2 surah Yusuf yang bercerita tentang Nabi Yusuf r.a dan saudara2nya. Sembari sesekali menempelkan kuping di earphone yg satunya, mata saya melirik ke pengukur gerakan bayi di samping saya. Grafik terlihat mulai beraturan naik secara periodik sebagai pertanda bahwa jabang bayi mulai beraktifitas, berputar dan mendorong mulut rahim. Subhanallah, makhluk sekecil itu betul2 seperti dibimbing untuk menemukan jalan keluar menuju hidupnya di dunia ini. Dan hebatnya gerakannya itu dilakukan secara periodik seakan-akan memberi tanda bahwa ia akan segera menerobos.
Setelah beberapa kali dorongan teratur, jam 19:30-an Dewi mulai mengerang hebat. Dokter yang tadinya masih sempat bercanda dengan suster langsung siap2 mengenakan sarung tangan dan bersiaga. Sempat juga saya kesal karena melihat dokter2 muda yg kelihatannya santai2 saja itu. Tapi saya akhirnya menyadari bahwa itu mungkin salah satu teknik supaya mereka tidak ikut tegang sehingga bisa bekerja dengan tenang dan baik.
Jam 19:43 akhirnya perjuangan Dewi dan bayi kami, berakhir. Sang bayi sempurna keluar, setelah batuk beberapa kali, bayi kami menangis. Kulitnya merah dan matanya masih tertutup sebelah. Setelah dibersihkan lendir yg sempat memenuhi mulutnya beberapa lama, saya dekap ia dan mengazankan di telinga kanan lalu mengiqamah di telinga kiri.
“Ini bapakmu nak, jadi anak yang bertaqwa dan baik kelak ya” bisikku lirih di telinganya.
Bulan 04 Tanggal 13 Jam 19 menit 43 berat 3584 gram, telah lahir anak kedua kami, putra pertama keluarga Kurniawan.
Alhamdulillahi rabbil alamin.
8 pemikiran pada “Kobe City General Hospital 0413 1943 3584”
nikmat islam adalah nikmat yang paling besar yang kita dapat
Moga Engkau Diberkatih Terus Oleh Tuhan. Tegang bangat Ceritanya kayak Kita Terikut Juga melakoninya. hehehhe
Hehehe…saya bisa bayangkan om Ramdhani buka kacamata tebalnya sambil kucek2 mata, pura2 lihat, padahal kabur ji…. 🙂
Dengar2 katanya ada proyek baru di Gorontalo ini cess? Bagaimana dgn kelapa sawitnya, lancar2 ji?
Mabruk!
Ramdhani setengah mati pelototi monitor komputer tunggu gambar “putra pertama keluarga Kurniawan” yang gagah selesai diupload 🙂
mabruk ust.!
Ikut mules juga mbaca kronologis ‘lahirnya sebuah keajaiban’.
Selamat…..Semoga mjd anak sholeh.
selamat….
Alhamdulillah… Selamat ya mas Arif, mbak Dewi dan Aisyah
Omedeto gozaimasu Arief san…….