Pagi-pagi sekali saya bersama teman dari Kamboja sudah ada di atas kereta JR menuju Shin Osaka sembari menenteng tas berisi pakaian beberapa lembar beserta mobile laptop NEC kesayangan. Hari ini mahasiswa dari berbagai negara yang menerima beasiswa dari yayasan Nishimura beroleh rejeki dapat kesempatan jalan-jalan ke wilayah Oita di pulau Kyuushu. Nishimura adalah yayasan pemberi beasiswa untuk mahasiswa-mahasiswa dari negara-negara Asia Tenggara yang didanai dari hasil keuntungan perusahaan kosmetik ternama, Gatsby. Berkat rahmat Allah, saya bisa termasuk salah seorang dari 4 orang mahasiswa asal Indonesia yang diberi biaya kuliah setiap bulannya oleh yayasan Nishimura.
Perjalanan dimulai dengan shinkansen dari Shin Osaka, pemandangan yang tersaji di jendela kereta tidak begitu jelas karena tingginya kecepatan shinkansen, apalagi ada banyak terowongan yang dilalui. Terlihat beberapa mahasiswa memandang dengan wajah takjub, persis seperti pertama kali saya naik kereta jenis ini dari Tokyo ke Nagoya sekitar 6 tahun lalu sewaktu akan memulai masa kenshu di Fukui. Setelah beberapa kali naik kereta kilat itu, saya mulai berhenti takjub karena memang tidak ada yang istimewa kecuali kecepatannya yang hebat, di beberapa daerah ada banyak kereta ekspres yang interiornya tidak kalah dengan shinkansen.
Setelah berhenti di beberapa propinsi akhirnya kereta berhenti di stasiun Kokura dan kami berpindah ke Super Sonic yang membawa kami hingga stasiun Beppu. Kereta ini walaupun hanya berlabel ekspres biasa, tapi interiornya menawan dan terkesan mewah. Pemandangan yang terlihat kebanyakan ladang-ladang dan perumahan penduduk mirip-mirip pemandangan yang tersaji kalau naik Argo Gede dari Jakarta ke Bandung, walaupun tentunya suasana dan fasilitas kereta yang ibarat perbandingan buah jeruk nipis dengan jeruk manis. Jenisnya sama-sama jeruk, tapi rasanya amat jauh berbeda, kendaraannya sama-sama kereta dan sama-sama bayar, tapi kepuasannya jauh berbeda. Mulai dari ketepatan waktu, kenyamanan interior hingga keramahan petugasnya, kereta di tanah air kita masih jauh ketinggalan dari negeri ini.
Jadwal hari pertama diisi dengan kunjungan ke pabrik Daihatsu di Oita. Kami dijemput dengan bis dari stasiun Beppu dan langsung meluncur ke daratan buatan di penghujung daerah Oita. Menurut pemandu yang cukup kocak dan menyebut namanya Shige-chan walaupun tampaknya sudah berumur lebih dari 40 tahun, daratan yang ditempati oleh pabrik Daihatsu, Toyota, dan industri-industri pendukungnya itu dulunya adalah laut. Laut itu ditimbun dengan tanah, ditanami tumbuhan, dibuatkan penahan gelombang, lalu dijadikan kawasan industri. Hasilnya menakjubkan karena dari atas tanah itulah terlahir puluhan ribu kendaraan yang menyerbu pasar Amerika, Eropa, Asia, dan Afrika.
Kunjungan ke pabrik ini cukup menyenangkan karena tamu diperbolehkan masuk ke dalam pabrik dan melihat langsung proses pembuatan mobil, mulai dari bahan dasar berupa lempengan besi hingga produk jadi berupa mobil siap pakai. Terlihat kesibukan yang luar biasa karena pekerja harus bekerja di atas conveyor yang berjalan secara perlahan, jika satu orang terlambat dalam pekerjaannya, maka pekerjaan selanjutnya akan terhambat juga. Sistem conveyor sebenarnya sistem kerja yang ditemukan dan dikembangkan oleh perusahaan Amerika yang terkenal dengan mobil model T-nya, yaitu Ford. Sistem ini kemudian ditiru oleh perusahaan-perusahaan Jepang dalam memproduksi mobil-mobil kecil yang kemudian merangsek masuk pasar Amerika sehingga akhirnya menggeser dominasi perusahaan-perusahaan mobil di sana termasuk Ford sendiri. Tapi seperti biasa, system itu tidak ditiru bulat-bulat, oleh orang Jepang sistem itu kemudian disempurnakan sehingga bisa bekerja lebih efisien dan efektif, bahkan mungkin lebih baik dari system aslinya, karena terbukti Jepang akhirnya bisa membuat produk mobil dalam jumlah lebih besar, biaya lebih murah, dan yang jelas lebih laku. Taktik tiru-meniru inilah yang sekarang ditiru juga oleh perusahaan-perusahaan Cina yang banyak menuai protes dan tuntutan dari negara lain, bahkan kereta cepat andalan Cina juga diyakini sebagai bajakan teknologi dari Jerman dan Jepang. Reaksi Cina? Anteng wae, wong negara lain seperti Jepang dan Korea juga mulainya sama kok! Mau kembangkan industri dalam negeri? Mulailah dengan menjiplak, karena kalau harus mulai dari teknologi dasar, kita akan ketinggalan teknologi dan ditinggalkan oleh konsumen. Tapi tentu saja harus plus inovasi, supaya bisa memberi nilai tambah yang baru sekaligus menghindari tudingan gijutsu no dorobou (maling teknologi).
Indonesia kapan mulainya ya?
Setelah kunjungan pabrik, bis diarahkan ke kawasan wisata di perbatasan Beppu shi dan Oita shi berupa taman kecil di atas bukit yang harus didaki beberapa puluh meter. Saya jadi tertawa sendiri melihat kawasan wisata yang digembar gemborkan sebagai andalan daerah Oita itu. Betapa tidak, yang dimaksud dengan tempat wisata yang disebut dengan nama saru no yama (gunung monyet) Takasaki itu hanyalah sebuah kawasan sempit beberapa ratus meter persegi dengan monyet yang nongkrong dan bercengkrama. Tak ada yang istimewa selain sikap monyet-monyet yang sepertinya tahu memperlakukan pengunjung. Mereka cuek saja dengan manusia yang lalu lalang, bahkan seenaknya berjalan di antara langkah-langkah kaki manusia, malah ada beberapa yang terlihat mengerti saat difoto karena langsung pasang aksi lucu ketika dijepret dari dekat. Dan karena patuhnya pengunjung untuk tidak memberi makan kepada mereka, maka monyet-monyet itu pun terlihat tidak tertarik kepada barang bawaan tamu-tamu pengunjung. Saya jadi teringat kelakuan monyet-monyet di Pangandaran Jawa Barat yang teramat nakal hingga berani merebut tas yang dibawa oleh pengunjung. Semua itu mungkin karena ketidakpatuhan pengunjung yang seringkali iseng memberi makan sehingga monyet-monyet di Pangandaran itu mengira pengunjung selalu membawa makanan, sebagai akibatnya mereka selalu berminat terhadap barang bawaan pengunjung. Jadi, jangan salahkan monyetnya, benarkan dulu sikap manusianya, maka monyet pun mungkin akan menjadi benar. Wallahualam bis showab.
Hari kedua diisi dengan kunjungan ke universitas yang terletak di tengah-tengah gunung dan menghadap ke teluk Beppu. Universitas ini mengklaim setengah mahasiswanya adalah mahasiswa asing dan bahasa pengantarnya adalah Inggris dan Jepang. Bahkan, rektornya pun bukan orang Jepang, melainkan orang Srilanka. Universitas itu bernama Ritsumeikan Asia Pasific University (APU).
Pada sesi obrolan, saya coba mencari data mahasiswa asal Indonesia, ternyata ada 107 orang yang berasal dari negeri kita. Salah seorang malah saya temui sedang baito di koperasi mahasiswa. Jumlah ini cukup besar karena universitas negeri seperti universitas Kobe pun kalau tidak salah, mahasiswa asal Indonesianya tidak mencapai angka 100, apalagi universitas Hyogo yang hanya punya satu mahasiswa asal Indonesia, saya 🙂 Padahal APU itu universitas swasta yang biaya kuliahnya cukup aduhai untuk ukuran Jepang sekalipun. Tampaknya, kelebihan universitas itu adalah tim marketing-nya yang tampaknya cukup giat, katanya mereka bahkan punya perwakilan di Jakarta.
Hari ketiga kami habiskan hingga tengah hari berkeliling di neraka ala Beppu. Mereka menyebutnya jikoku meguri atau keliling-keliling neraka. Menurut pemandu, karena udara yang panas oleh magma dari bawah permukaan tanah ditambah uap onsen yang memang ngepul di mana-mana, maka daerah sekeliling Beppu itu disebut jikoku atau neraka. Saya hanya tersenyum mendengar penjelasan itu, mungkin setelah orang-orang Jepang ini mati dan masuk neraka, baru mereka sadar bahwa jikoku-nya Beppu masih amat sangat sejuk dibandingkan neraka asli. Panas neraka itu diisyaratkan dalam Al Quran sebagai panas yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya, panas magma bumi yang mencapai ribuan derajat celcius pun mungkin belum sebanding karena panas neraka adalah panas yang tidak pernah terbayangkan oleh imajinasi manusia.
Menurut cerita pemandu, ketika pertama kali di wilayah Beppu ini ditemukan onsen, daerah ini setiap hari ramai seperti pasar malam. Kendaraan sampai berderet-deret dan macet di jalur utama. Tapi seiring waktu yang berlalu, orang-orang akhirnya mulai malas berdatangan bahkan sempat beberapa lama daerah ini mati suri. Kebangkitannya dimulai oleh perhatian pemerintah yang membangunkan fasilitas jalan dan transportasi umum lain sehingga perlahan sejak beberapa tahun terakhir Beppu kembali ramai oleh wisatawan.
Indonesia sebenarnya bukan daerah yang miskin lokasi wisata, bahkan mungkin bisa disebut berlimpah. Saking banyaknya hingga masih banyak wilayah-wilayah yang berpotensi tapi tidak berkembang dikarenakan kurangnya perhatian pemerintah karena kurangnya kreatifitas penduduk lokal. Dalam banyak hal, kekurangan kita memang kombinasi dari kurang perhatiannya pemerintah dan kurang inisiatifnya rakyat.
Di Makassar ada sebuah kawasan wisata air terjun bernama Bantimurung. Selain alamnya yang indah, menurut catatan museum yang ada di situ, di lembah itu hidup 2000 jenis kupu-kupu yang berarti 1/3 dari total 6000 jenis kupu-kupu yang pernah terdokumentasi di bumi ini (benar atau nggak, seperti itulah yang tertulis ketika saya berkunjung belasan tahun silam). Cuacanya yang selalu sejuk dan airnya yang menyegarkan sebenarnya berpotensi besar untuk menjadi salah satu tujuan wisata andalan, bahkan untuk dijual ke luar negeri sekalipun. Sayang sekali perhatian pemerintah yang setengah-setengah ditambah kebandelan pengunjung yang sering buang sampah sembarangan membuat daerah itu menjadi buruk rupa. Di hulu, air terjunnya memang indah dipandang dan dijadikan tempat membasuh badan, tapi di hilir endapan sampah di dasar sungai sangat merusak pemandangan. Kami para penduduk lokal, karena tidak punya pilihan lain maka tetap saja meramaikan tempat itu pada hari-hari libur. Kami harus rela duduk-duduk menikmati udara bebas dan bekal makanan di sela-sela gundukan sampah yang kotor.
Kapan kita mulai belajar?
2 pemikiran pada “Pesona Beppu”
Alhamdulillah saya beroleh rejeki mas Joko, semua biaya ditanggung oleh yayasan. Kalau pake duit sendiri sih masih mikir2 deh 🙂
Bersyukurlah bagi mereka2yg bisa menikmati suasana alam di negri matahari terbit ini.