Kisah Sebuah Payung, Too Good To Be True

Hari ini sesuai perkiraan cuaca, hujan mengguyur kota Osaka sejak pagi buta. Saya berangkat kerja agak santai dan meninggalkan rumah sekitar jam 07:40an diantar oleh istri dan anak hingga ke depan pintu.
Tangan kanan memegang payung dan tangan kiri memegang lunch box, tas kerja berukuran kecil menggelayut di pundak.
Setelah menunggu beberapa menit, kereta Ekspres Hanshin jurusan Umeda datang, dan seperti biasa saya harus berdiri berdesakan. Namun karena cuma 9 menit dan juga para penumpang lain selalu tertib dan diam, maka perjalanan selalu nyaman. Dan seperti sudah dikomando, pada jam sibuk seperti ini, penumpang kereta biasanya menghindari parfum yg bisa menyebabkan ketidaknyamanan bagi penumpang lain. Karena belum tentu parfum yg kita sukai, di hidung orang tercium nyaman.
Saya mendapat tempat berdiri di dekat ujung tempat duduk, sehingga bisa menyandarkan payung di besi, dan menaruh lunch box di rak atas kepala sehingga bisa berdiri bebas tanpa menenteng barang. Namun, dari situlah semuanya bermula.
Karena keenakan tidak membawa barang, pada saat turun dari kereta di stasiun terakhir Osaka, saya hanya mengambil lunch box dan tas kerja dan melupakan payung yg saya beli dgn harga 700an yen atau sekitar Rp.80,000an itu. Saya baru tersadar ketika keluar dari pintu cek tiket dan sudah terlalu jauh dari posisi kereta.

Karena melihat arus manusia yg harus saya lawan jika nekat kembali ambil payung, saya memutuskan untuk melupakannya dan membeli payung baru di Lawson di stasiun Umeda. Hujan masih membasahi jalan ketika saya berjalan dari stasiun ke kantor.

Sepulang kerja, iseng-iseng saya mencoba singgah di ワスレモノセンター atau Lost & Found yg ada di stasiun Hanshin Umeda. Kepada petugas, saya jelaskan bahwa saya ketinggalan payung di kereta tadi pagi dan menyebutkan cirinya ada plester coklat.
Petugas masuk ke ruang gudang dan keluar sambil menyeret tempat payung berbentuk bulat yg berisi puluhan payung. Payung saya menancap di tengah-tengah, dan saya langsung bisa mengenalinya dari plester coklat di gagangnya.
Petugas stasiun menyerahkan tag yg harus saya isi dgn nama, alamat, dan no.tlp sbg bukti bhw saya yg mengambil batang tersebut. Setelah menerima payung, saya bergegas kembali ke arah stasiun.

Harga payung itu kurang lebih sama dgn satu porsi makan siang, tapi tetap dianggap penting sehingga dikumpulkan oleh pihak pengelola kereta.

Pagi itu hujan turun cukup deras, dan pasti ada saja penumpang yg lupa bawa payung sehingga pasti tergoda untuk membawa dan menggunakannya. Tapi semua orang itu bersedia mengikuti kata hatinya dan menomorsatukan kejujuran, tidak mengambil barang yang bukan miliknya.

Ini memang hanya cerita tentang sebuah payung yang ketinggalan di kereta di suatu pagi di Osaka, dan kembali ke pemiliknya dalam keadaan utuh. Tapi payung itu juga telah menjadi bukti tentang tingginya nilai kejujuran sebuah bangsa bernama Jepang. Sebuah nilai moral yang selalu kita impikan menjadi bagian dari bangsa kita, Indonesia. Mungkin di suatu hari nanti.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.