Pulang Kampung Ke Fukui Edisi Winter 2014

Pagi jam 9 lewat 25 pesawat GA884 yang joint flight dengan ANA mendarat dengan mulus di landasan Narita Airport. Pilotnya sangat mahir sampai-sampai tidak kerasa ketika roda pesawat menyentuh beton bandara yang konon setiap tahun harus didongkrak karena tenggelam beberapa centimeter setiap tahunnya.
Di sebelah saya direktur Marketing Mandom Indonesia bersin beberapa kali, tampaknya beliau kedinginan. Saya sendiri sakit kepala yang cukup berat, tapi alhamdulillah rekan kerja dari lab, Izawa-san, membawa obat sakit kepala bufferin. Tanpa tunggu waktu lama saya menenggak dua butir putih itu.
Seturunnya dari pesawat seperti biasa kami langsung menuju imigrasi, dengan agak deg-degan saya menyerahkan paspor dan KTP Jepang. Saya deg-degan karena sebenarnya masa berlaku paspor habis bulan februari dan hal itu tidak saya sadari hingga hari keberangkatan kemarin. Petugas dua kali menscan paspor dan tidak terbaca, akhirnya sambil tersenyum malu saya katakan bahwa paspor Indonesia buatan KBRI dan KJRI memang tidak terbaca scan dan harus diinput manual. Rasa malu ini harus dirasakan oleh ribuan atau mungkin ratusan ribu orang Indonesia yang sudah mempercayakan pembuatan paspornya ke KJRI dan KBRI. Apa boleh buat, hal ini sebenarnya pernah dibahas oleh beberapa teman yg mengalami hal yg sama di sosmed tapi tampaknya belum ada perubahan. Akhirnya setelah 5 menitan petugas bingung, barulah dia menyerahkan kembali paspor saya dan menunjukkan stempel imigrasi tanpa menyinggung masa berlaku paspor yg tinggal dua bulan.
Saya bergegas turun ke luggage claim dan mendapati teman seperjalanan 6 orang dari Mandom sedang menunggu barang bawaan juga. Kami akhirnya bubaran sementara dan masing-masing menuju tujuan sendiri-sendiri. Beberapa stay di Tokyo beberapa hari, beberapa lagi langsung ke daerah Kansai. Saya sendiri karena menuju Fukui maka mengambil jalur berbeda karena harus naik shinkansen sampai Maibara, lalu lanjut dengan kereta super ekspres Shirasagi ke Fukui.

Sky Tree
Sky Tree di kejauhan

Sebelum berangkat sebenarnya saya sudah merancang perjalanan dengan simulasi di situs Jorudan.co.jp yang memuat nyaris semua informasi tentang jadwal kereta, bis, dan pesawat dalam negeri Jepang. Namun ternyata saya harus improvisasi karena jalur JR tidak beroperasi sehingga harus pindah ke jalur keisei railway dan mengambil skyliner. Dari Narita ke Nippori, lalu dari Nippori baru ke Tokyo naik Shinkansen. Saya akhirnya berangkat jam 10:33 dan tiba beberapa menit kemudian di stasiun JR Tokyo.
Sebelum shinkansen berangkat, saya membeli bento (lunch) di dalam kompleks stasiun yang ramainya bukan main. Ada beberapa kios yg menjual bento tapi paling ramai adalah Bento Sai, beberapa orang bule ikut nimbrung dan sebagian malah asik foto-foto menu dummy bento yg dipasang di dinding dan ditempeli nama bentonya. Sayang sekali belum ada alfabetnya, sehingga orang asing yg tidak bisa baca kanji atau hiragana/katakana tidak akan mengerti. Tidak salah jika kios bento itu ramai karena pilihan menunya sangat banyak, ada sekitar 60 jenis menu, mulai dari daging, ikan, kepiting, hingga ikura (telor salmon). Dengan pilihan yang sangat menarik itu saya sempat kebingungan.
Menu Bento Sai
Menu Bento Sai Di Dinding

Setelah memeriksa bahan-bahan yg haramnya saya ambil menu salmon yg aman dari ancaman haram, tapi menjadi bingung antara memilih fugu (mirip ikan buntel tapi tidak ada durinya) atau kepiting. Dua-duanya menarik, fugu karena rasanya yang gurih, kepiting karena dagingnya yang manis dan enak. Akhirnya saya ambil dua-duanya, satu untuk brunch (breakfast-lunch), satu lagi untuk lunchner (lunch-dinner).
Bento
Antara kepiting dan Fugu

Bento Kepiting
Bento Kepiting Suwir

Setelah itu berusaha nyari obat sakit kepala andalan yang biasa saya pakai yaitu EVE. Obat ini insya Allah halal karena sudah pernah saya periksa dan tanya ke produsennya. Sebenarnya saya sudah tahu kalau kios dan convinience store di Jepang tidak menjual obat, tapi iseng-iseng bertanya supaya bisa sekalian nanya ke penjaga toko di mana ada apotik di dalam area stasiun. Alhamdulillah ada satu apotik kecil sehingga saya bisa menyempatkan diri membeli satu strip EVE berisi 24 butir. Hal yang harus anda ingat kalau ke Jepang, hanya apotik dan drugstore yang diperbolehkan menjual obat, bahkan untuk obat sakit kepala, obat flu, dan obat-obatan ringan lainnya. Seandainya jamu masuk Jepang, maka kemungkinan hanya bisa dijual di apotik dan toko obat karena bisa dikategorikan sebagai herbal medicine, senasib dengan obat-onatan herbal Cina. Hal ini memudahkan pengontrolan sehingga mencegah beredarnya obat palsu, obat bekas, dll, berbeda dengan di negara kita, obat bisa dijual di warung-warung kecil.
Shinkansen berangkat persis sesuai jam yang tertera 12:30, saya sengaja duduk di dekat jendela karena ingin menikmati pemandangan selama perjalanan ke arah barat Jepang. Saya tertidur hingga Nagoya sehingga melewatkan pemandangan Fuji-san yang pasti terselimuti salju.
Jam 15:45 shinkansen tiba di stasiun Maibara, Shiga Prefecture. Setelah membeli tiket kereta super ekspres Shirasagi saya segera ke vending machine membeli minuman hangat kesukaan yaitu hotto lemon. Sambil menikmati minuman hangat itu menghampatkan pandangan yang mulai tersaji berbeda begitu memasuki wilayah barat-utara Jepang.
Begitu memasuki Tsuruga yang merupakan wilayah paling selatan Fukui Prefecture dan berbatasan dengan Kyoto, pemandangan sudah berbeda 100 persen dengan perjalanan dari Tokyo hingga Nagoya. Gunung, sawah, dan rumah-rumah penduduk berwarna putih tertutup salju. Bahkan terkadang melewati beberapa daerah yang sedang dilanda hujan salju sangat kencang. Pemandangan yang sangat saya sukai dari musim salju di Jepang, walaupun tidak suka dengan hawa dinginnya. Pemandangan seperti itu tidak bisa dinikmati di daerah Kansai seperti Osaka dan Kobe karena hujan salju sangat jarang, kalaupun turun hanya sebentar, berbeda dengan di Fukui yang kadang-kadang bisa turun hingga semalaman. Duduk depan kotatsu (pemanas kaki berbentuk meja ditutupi selimut tebal) sambil minum green tea hangat dan menikmati pemandangan salju yang turun di malam hari di luar jendela dengan mematikan lampu di ruangan adalah salah satu cara saya dulu menikmati musim salju.
Gunung Salju
Pemandangan Dari Jendela Shirasagi – Gunung

Jembatan Salju
Pemandangan Dari Jendela Shirasagi – Jembatan

Rumah Bersalju
Rumah tertutupi salju

Kota Bersalju
Stasiun Sabae

Kereta Shirasagi tiba tepat jam 16:58 seperti yang tertera di karcis. Langit sudah mulai gelap karena ternyata matahari terbenam jam 16:45. Setelah mengirim sms ke HP okasan mengabarkan bahwa saya sudah tiba, saya keluar sejenak memoto bagian depan stasiun yang sudah sangat berubah sejak pertama kali saya datang agustus tahun 2000, 14 tahun yang lalu. Begitu banyak kenangan di depan stasiun ini karena di sini biasanya saya dan teman-teman janjian setelah les bahasa Jepang dan belanja di supermarket depan stasiun atau main bowling di AL Plaza Fukui.

Beberapa menit kemudian okasan yang saya panggil “sensei” sampai di belakang stasiun walaupun sempat tidak saya kenali karena mobil yang biasa beliau kendarai adalah Mercedes tua kesayangannya menjadi sedan Nissan Bluebird. Sensei tidak banyak berubah dibanding terakhir ketemu 3 tahun lalu. Masih tampil modis dan segar dan bisa menyembunyikan usianya yang sudah 70 tahun. Padahal beliau jarang ke salon dan katanya hanya melakukan perawatan di rumah. Mungkin rahasia awet muda beliau adalah hati yang selalu bahagia dan semangat selalu ingin berbagi dengan sesama. Aktifitas utama beliau selain berbisnis properti memang paling banyak dihabiskan untuk membantu orang asing belajar bahasa Jepang, orang-orang seperti saya dulu.

Pekarangan Belakang
Pekarangan belakang rumah sensei yang tertutup salju

Kami langsung menuju rumah beliau dan langsung disambut otosan dan dua cucunya yang sudah besar-besar dibanding 3 tahun lalu. Otosan tahun ini sudah berusia 80 tahun lebih, tapi masih terlihat tegap karena olahraga golf secara teratur. Dengan postur tubuh tinggi besar dan langkah yang masih tegap, orang akan salah sangka beliau masih berusia 60an.
Kami ngobrol sejenak lalu meninggalkan rumah dan menuju restoran 000 yang terletak di belakang stasiun Fukui. Saking dinginnya badan saya sempat gemetaran ketika keluar dari mobil dan menuju pintu restoran. Melihat saya gemetaran, otosan melepas coat-nya dan memakaikan ke saya. Butuh beberapa menit hingga rasa dingin hilang dan suhu badan kembali normal padahal sudah duduk di dalam restoran. Kami menikmati hidangan khas Jepang, mulai dari sashimi hingga onabe kepiting. Kami pulang agak larut karena sudah hampir jam 10, padahal matahari sudah terbenam sejak jam 5 kurang yg berarti kurang lebih sama dengan jam 11-12 kalau di Indonesia.
Setelah ngobrol dengan okasan, saya kemudian permisi masuk ofuro, berendam air panas dan bersiap-siap tidur tapi okasan masih mengajak ngobrol dan mengeluarkan ice cream. Kami akhirnya ngobrol tentang kegiatan selama 3 tahun terakhir. Beliau bercerita tentang kegiatannya mengajar bahasa Jepang untuk orang asing yang kebanyakan adalah anak-anak usia sekolahan yang kesulitan mengikuti pelajaran di sekolahnya. Menurut beliau jumlah orang Indonesia berkurang drastis selama beberapa tahun terakhir, selain kenshusei yang nyaris tidak ada, jumlah mahasiswa juga hanya sedikit sekali. Akhirnya karena tidak bisa menahan kantuk, saya permisi tidur duluan, sementara okasan masih beres-beres rumah dan pekerjaan. Setelah sholat, saya terlelap di dalam timbunan futon yang tebal.

Keesokan harinya saya terbangun jam 6, di luar masih gelap karena menurut appli di iphone, matahari terbit jam 7 dan subuh mulai jam 5:45. Di musim dingin, malam memang panjang sementara siang lebih singkat. Akhirnya setelah sholat subuh saya meringkuk lagi di dalam selimut tebal dan terbangun jam 8:30.

Pagi itu okasan membuat sarapan dengan menu sesuai yang saya minta kemarin malam yaitu miso sup dan kepiting rebus yang kami beli di depan restoran semalam. Beliau juga membuatkan ni-mono (sayur rebus dengan sedikit kuah) dengan menu utama ubi talas Jepang. Tentunya tanpa daging karena beliau sudah hapal kalau saya tidak boleh makan daging babi, sake, mirin, bacon, dll.
Otosan ikut bergabung dan kami makan sambil ngobrol ngalor ngidul, mulai dari tentang orang asing di Fukui, sampai kondisi politik Indonesia.
Jam 10an okasan mengajak ke ToysR Us, katanya ingin membelikan mainan buat anak-anak. Walaupun Fukui bukan kota besar, tapi nyaris semua keperluan bisa diperoleh di kota ini dengan jarak yang tidak terlalu jauh.
Cukup lama kami memilih jenis mainan yang terlalu banyak sehingga malah membingungkan.

Sehabis membeli mainan saya meminta diantar ke Fukui International Activity Plaza atau di kalangan orang Indonesia biasa kami sebut FIA. Terakhir mengunjungi fasilitas pemerintah untuk orang asing ini sekitar 3 tahun lalu.

Suasana masih seperti yang dulu walaupun menurut okasan fasilitas itu mulai sepi. Kalau dulu fasilitas ini banyak dikunjungi oleh mahasiswa asing dan kenshusei asing yang ingin belajar bahasa Jepang dengan dipandu oleh tenaga-tenaga valounteer seperti sensei. Tapi belakangan Universitas Fukui sudah menyediakan fasilitas seperti itu di kampus. Sementara itu, kenshusei asing yang dulu banyak dari Indonesia dan Cina, belakangan sudah mulai berkurang. Keadaan itu kemudian diperparah dengan kurang harmonisnya hubungan pemerintah daerah prefektur dan pengurus yayasan yang menaungi fasilitas tersebut, sehingga akhirnya ada banyak tenaga sukarelawan seperti okasan yang menjadi tidak betah melakukan pengabdian di tempat itu. Kebanyakan tenaga sukarelawan itu akhirnya merapat ke yayasan yang dibentuk oleh pemda tingkat II Fukui City dan memiliki kegiatan yang serupa yaitu mengajar bahasa Jepang kepada orang asing.

Karena kehilangan banyak pengunjung dan ditinggalkan oleh tenaga sukarelawannya, akhirnya fasilitas itu mulai kehilangan ruh. Konon kata sensei, ruangan yang ada sekarang kebanyakan disewa untuk kegiatan yg tidak ada hubungannya dengan internasional, seperti pameran produk/dagangan, seminar-seminar bisnis, dll. Sedih juga sih karena boleh dikata perpustakaan yang ada di fasilitas ini adalah andalan saya ketika belajar bahasa Jepang dengan privat bersama sensei dan secara otodidak.

Kebetulan pimpinan di FIA ternyata belum diganti, kami akhirnya sempat ngobrol beberapa menit. Mr. N ini masih seperti dulu, relatif pendiam dan sangat humble. Saya kemudian minta diri karena takut mengganggu kesibukan beliau.

Ketika ke tuang perpustakaan beruntung senior adviser yang dulu banyak membantu juga masih ada, Mrs.TS. Okasan kemudian meninggalkan kami ngobrol sebentar karena beliau harus menyiapkan soba yang akan dimakan sebagai adat kebiasaan tutup tahun di perusahaan.
Dari Mrs.TS saya baru tahu bahwa jumlah mahasiswa Indonesia yang ada di Fukui hanya 6 orang, sangat sedikit dibandingkan Malaysia yang punya sekitar 30 orang mahasiswa di Fukui.

Saya menghabiskan waktu sekitar setengah jam menikmati salju yang turun cukup deras di luar FIA yang dindingnya terbuat dari kaca sehingga tembus pandang keluar. Agak terasa nostalgia kalau mengingat belasan tahun lalu biasanya pada saat hujan salju seperti ini, saya harus jalan kaki dari apartemen dengan jarak sekitar 2km-an krn tidak mungkin naik sepeda jika jalanan sudah basah oleh salju. Tidur jam 9 pagi, bangun jam 12 siang lalu harus jalan kaki dengan suhu di bawah 0 derajat menuju perpustakaan ini. Sekarang, semua itu hanya nostalgia masa lalu.

Okasan akhirnya datang dengan tergepoh-gepoh, dan kami langsung pulang. Di rumah, hidangan soba sudah tersedia dan ternyata menunggu saya. Kami akhirnya menikmati hidangan yang lazim disebut toshi koshi soba atau hidangan soba menjelang pergantian tahun dan merupakan tradisi di kantor Otosan.

Toshi Koshi Soba
Hidangan soba penutup tahun

Sejam kemudian saya sudah di atas kereta Thunderbird menuju Osaka meninggalkan Fukui, kota yang ibarat kampung halaman kedua setelah kota kelahiran Makassar. Di kota itulah saya berani membangun impian dan menyusun rencana hidup. Fukui memang kota yang dingin, tapi ada banyak orang-orangnya yang hangat dan telah menjadi inspirasi yang berhasil membakar semangat hidup.

One thought on “Pulang Kampung Ke Fukui Edisi Winter 2014

  1. Assallamualaikum tuan…sy dari malaysia..bercadang akan ke Fukui sabae..pd hujung tahun 2015 ni bersama keluarga….untuk menziarahi anak lelaki yang baru belajar di sana..kami bercandang bermalam di daerah sabae fukui untuk beberapa malam dan seterusnye bermalam di osaka sebelum pulang ke Malaysia..skrg saya sedang mencari tempat seperti apartmen yg boleh saya masak untuk keluarga saya…memandangkan waktu tu musim sejuk 23hb dis hingga 31 dis 2015 kami disana..sekiranya tuan ada cadangan atau pandangan untuk kami sekeluarga….amat saya alu2kan…tk

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.