Farewell Party, Industri Tekstil, dan Globalisasi

Memasuki bulan maret seperti biasa acara tahunan berupa farewell party dan welcome party mulai mengisi schedule harian. Hari ini farewell party untuk melepas kepulangan seorang kakak kelas di University of Hyogo Mr.Y. Di Indonesia sejak 4 tahun yg lalu beliau dipercayai memegang jabatan sebagai President Director di PT. Soj**z yang merupakan bagian dari grup Sinar Mas.
Klub Alumni kami hanya beranggotakan kurang dari 10 orang, tapi isinya kebanyakan sudah berusia di atas 45 tahunan. Jadi tidak heran jika yg berusia di bawah 40 tahun dan berjabatan di bawah direktur hanya saya dan T-san, seorang GM di perusahaan tekstil PT. Nisshin** di Cimahi. Selain itu ada VP di Pana****c, owner sebuah trading company, President Director di PT. Unit**, dan direktur di berbagai perusahaan lain.
Hari ini kebetulan saya duduk pas di depan Mr. A yang merupakan President Director perusahaan tekstil cukup ternama yaitu PT. Uni**x. Kami berbincang cukup serius ketika membahas tentang ekspansi bisnis perusahaan Jepang ke Indonesia.
Sebenarnya saya sudah cukup lama menyimpan pertanyaan kenapa perusahaan-perusahaan tekstil Jepang justru banyak yang ekspansi ke Indonesia padahal perusahaan lokal sendiri banyak yang gulung tikar menghadapi persaingan yang ketat dari India dan China. Dan jawaban beliau cukup menarik untuk ditelaah.
Beliau mulai masuk dengan menjelaskan bahwa pasar tekstil memiliki pangsa pasar yang sangat luas dan sustainable karena semua manusia butuh pakaian dan produk pakaian memiliki life cycle yang relatif singkat sehingga demand akan tetap ada.
Saya menimpali bahwa walaupun demand banyak, industri ini entry barriernya tidak sesulit industri teknologi tinggi karena mesin-mesin produksinya banyak tersedia dan proses manufakturnya tidak memerlukan teknologi yang benar-benar rumit. Bagian yang tersulit adalah memperoleh pasar untuk produk yang dihasilkan karena banyaknya pemain serupa sehingga jika produk tidak memiliki karakteristik khusus, pasti akan sulit merebut pasar. Saya contohkan kondisi industri tersebut di Fukui Prefecture, Jepang. Pada zaman ekonomi emas Jepang, Fukui sangat maju dengan industri tekstilnya. Tapi karena gempuran produk impor terutama dari Cina, akhirnya industri itu lenyap dan menyisakan banyak pabrik-pabrik kosong di seantero kota. Yang tersisa hanya segelintir perusahaan yang berinovasi dan membangun basis pelanggan di dunia industri lain seperti Seiren yang terkenal dgn tekstil khusus seat mobil.
Mr. A menjawab bahwa di situlah kata kunci untuk sukses di industri yang konon sudah mulai memasuki negative growth di Indonesia ini. Menurut beliau, kebanyakan perusahaan tekstil terpaksa tamat riwayatnya karena terlambat berinovasi dan cenderung melihat pasar secara sempit. Ketika berbicara tentang tekstil, pemain industri ini kebanyakan melihat pasar hanya yang berhubungan dengan pakaian. Padahal selain pakaian, ada banyak nieche market yang bisa dijadikan lahan garapan. Seat mobil adalah salah satunya, selain itu ada perlengkapan interior pesawat, kapal laut, alat-alat kerja, dan lain sebagainya. Produk tekstil bisa muncul hampir di seluruh dimensi kehidupan manusia. Intinya adalah kejelian melihat wants konsumen dan mentransformasikan ide itu menjadi produk, yang berarti teknologi yang kreatif. Memiliki teknologi saja tidak cukup, jika teknologi itu sendiri belum bisa dijadikan produk yang bisa memberi manfaat kepada konsumen. Beliau mencontohkan, pernah suatu kali pihak RnD dari Unit*x pusat berhasil menciptakan sejenis tekstil yang berbahan baku cotton tapi memiliki tekstur selembut sutra. Hasil temuan itu kemudian dibuat prototype-nya dan beliau bawa untuk pasarkan di Perancis. Hampir semua designer dan perusahaan apparel yang beliau temui di Paris memuji dan menyukai kain tersebut. Tapi tak satupun dari mereka yang mau beli. Alasannya sederhana, harganya mahal dan dengan harga semahal itu produk seperti apa yg bisa dibuat, sama sekali belum terpikirkan. Akhirnya produk istimewa itu hanya menjadi hiasan di gudang perusahaan. Menurut beliau, kegagalan produk itu bukan pada teknologinya, tapi kegagalan RnD untuk memahami kebutuhan pasar sebelum mulai melakukan penelitian. Itulah sebabnya beliau selalu meminta pasukan RnD di perusahaan beliau yang berjumlah 40 orang untuk selalu turun gunung dan masuk ke dunia konsumen untuk memahami kebutuhan riil dari pasar. Karena kalau tidak, maka teknologi yang dihasilkan hanya prototype di dunia lab yang tidak mampu memberi kontribusi nyata bagi konsumen. Mungkin staf RnD bisa berpuas diri dan merasa sudah bekerja dengan baik karena bisa membuat produk baru yang banyak, tapi bagian sales hanya akan mencibir karena produk itu tidak laku di pasaran sebab memang bukan jenis produk yang diinginkan konsumen.
Selain itu, menurut beliau, salah satu penyebab perusahaan tekstil tergilas oleh persaingan adalah karena sempitnya pemahaman management terhadap pasar. Beliau mencontohkan perusahaan di Jepang yang cenderung menganggap bahwa pasar mereka sebatas negara Jepang. Atau kalaupun melakukan off-shoring maka orientasinya adalah produksi di luar Jepang kemudian diimpor ke Jepang. Strategi ini tidak efektif ketika kondisi pasar Jepang lesu atau dibanjiri dengan produk yang lebih murah dan berkualitas lebih baik. Menurut beliau, untuk bisa survive di industri ini perusahaan harus bertransformasi menjadi totally global company. Dengan memanfaatkan chain value, perusahaan harus mampu melihat dunia sebagaimana layaknya sebuah pasar domestik. Fokusnya adalah bagaimana dan di mana produk bisa dibuat dengan biaya terendah dengan jenis dan kualitas yang dibutuhkan pasar, bukan jenis dan kualitas yang diinginkan perusahaan. Artinya perusahaan harus mampu memahami kebutuhan pasar dan mentransformasikan kebutuhan tersebut menjadi produk, lalu melakukan produksi di lokasi yang tepat.
Kebijakan ini terdengar sederhana, tapi pada prakteknya akan dibutuhkan kombinasi dari kemampuan sales-marketing, product development, total supply management, dan teknologi produksi yang tepat, murah, dan efektif.
Kami mengobrol berdua dengan asik sampai-sampai lupa kalau akhirnya obrolan di meja lesehan Torigen itu terbagi dua, kami dan grup satunya lagi yang asik membicarakan tentang golf.
Jam menunjukkan pukul 21:30 malam ketika kami berfoto bersama dan meninggalkan restoran.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.