Rasialisme & Diskriminasi, PR Tersisa Buat Orang Jepang

Tahun depan putri sulung kami insya Allah akan masuk SD. Untuk pendaftarannya kantor Pemda Tk.II sudah mengirimkan formulir dan petunjuk pendaftaran. Yang menarik adalah ketika mengisi formulir khusus orang asing itu ada kolom “nama alias”. Tadinya saya berpikir kolom opsional itu ada karena orang asing yg bahasa aslinya menggunakan huruf sendiri akan susah menuliskannya dalam kanji atau alfabet, seperti misalnya orang Cina. Tapi setelah membaca fotocopy ?????????????? (Kebijakan Dasar Pendidikan Bagi Orang Asing Yang Bermukim di Itami City) yang dimasukkan dalam amplop formulir, saya jadi kaget. Sebab ternyata kolom itu ditaruh karena ada alasan lain.

Menurut informasi di buku kebijakan dasar itu (data tahun 2004), dari keseluruhan orang asing di Itami 87% adalah orang dari Semenanjung Korea yang dulunya adalah tenaga-tenaga kerja paksa di zaman perang, alias romusha. Orang2 Korea itu setelah perang banyak yang memilih tidak pulang dan menetap di Jepang. Sebagai mantan romusha yang boleh dikata setara dengan budak di mata orang Jepang, orang-orang Korea ini mendapatkan perlakuan yang tidak mengenakkan dari orang-orang Jepang di lingkungannya. Untuk menghindarkan diri dari perlakuan buruk itu, kebanyakan dari mereka mengubah nama asli mereka dengan nama Jepang dan menggunakan kanji. Karena tampang mereka yang mirip dengan orang Jepang, akhirnya banyak yang kemudian bisa berlindung di balik nama baru itu sebab disangka orang Jepang asli sehingga mendapat perlakuan yang setara dengan orang Jepang beneran. Seiring dengan berlalunya waktu, sentimen terhadap orang Korea ini agak berkurang sehingga beberapa tahun belakangan, ke-Korea-an mereka mulai bangkit. Salah satu ciri bangkitnya harga diri mereka adalah dengan mulainya muncul kesadaran menggunakan nama Korea mereka sendiri. Dimulainya trend baru inilah yang kemudian direspon oleh pemerintah daerah dengan selalu mencantumkan kolom “nama alias” bagi orang asing, kebalikan dengan yg ada dulu ketika orang2 Korea itu justru selalu menutupi diri dengan hanya menggunakan nama Jepang saja.

Selama tinggal 11 tahun di Jepang ini, alhamdulillah kami tidak mengalami diskriminasi yang berlebihan seperti yang dialami oleh orang2 Korea itu. Mungkin inilah hasil dari kemauan keras pemerintah Jepang yang terus menerus melakukan pendidikan ke warga negaranya untuk belajar menghargai bangsa lain. Walaupun begitu memang kadang2 ada saja orang-orang yang berusaha menghindar dari interaksi dengan kami, tapi saya selalu mengingatkan keluarga bahwa itu mungkin orang-orang yang tidak sempat mengecap pendidikan memadai sehingga berwawasan sempit dan berpandangan picik. Sebagai negara yang dulunya pernah memperlakukan bangsa lainnya dengan semena-mena, Jepang memang masih memiliki sisa PR untuk terus mengedukasi warga negaranya agar tidak rasialis, apalagi sampai diskriminasi terhadap orang asing.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.