Bangkok for 3 Days 2 Nights

Hari Pertama
Pesawat bernomor penerbangan JL727 yg kami tumpangi lepas landas  sesuai jadwal pada jam 17:25 meninggalkan Kansai Intl Airport. Padahal  setengah jam sebelumnya sudah memberikan pengumuman sekaligus meminta  maaf karena mereka memperkirakan bahwa pesawat akan telat sekitar 5  menit. Mereka sudah meminta maaf walaupun ternyata mereka tak berbuat  salah, seandainya saja maskapai penerbangan internasional kita  seprofesional ini. Penerbangan memakan waktu 5 jam 50 menit dengan waktu ketibaan yang  persis tertulis di jadwal tour yang diberikan oleh MyTours,  penyelenggara perjalanan ke Bangkok kali ini. Ada 32 orang dari MCJ yg  memilih tour ini dari 12 opsi yang tersedia tahun ini. Termasuk di  dalamnya tour ke Cina, Vietnam, dan domestik Jepang. Setibanya di Shvarnabhumi, bandara internasional andalan Thailand,  kami langsung menuju hotel Imperial Queen’s Park. Perjalanan memakan  waktu setengah jam lebih lama dari yg diperkirakan akibat dari adanya  demonstran yang menduduki perempatan utama menuju ke hotel.
Sehabis membeli mie instant dan minuman ringan di convinience store  depan hotel, saya tertidur.

Hari Kedua
Subuh jam 5 saya terbangun oleh morning call dari resepsionis hotel yg  sudah saya minta untuk membangunkan. Jam 6:30 saya bersama 2 peserta  tour lainnya harus siap di lobi karena kami akan menuju beberapa 
lokasi wisata di swkitar Bangkok. Minibus yang kami tumpangi akhirnya  berisi 10 orang setelah ditambah beberapa orang dari hotel lain. Saya  satu-satunya yang bukan orang Jepang. Tujuan pertama adalah pasar tradisional di daerah pinggiran Bangkok.  Bagi orang Jepang yang sehari-hari hanya melihat supermarket,  department store, atau convinient store yang selalu bersih dan rapi,  berjalan di antara kios-kios pasar yang sempit dan becek adalah  pengalaman baru dan unik. Bagi saya yang lahir dan besar di daerah  pinggiran Makassar, ini adalah pemandangan biasa. Kakak saya pemilik  kios pakaian bekas di pasar Terong Makassar, adik sepupu saya jualan  baju, dan adik dari kakak ipar saya penjual ikan di pasar Daya. Tapi  cukup menyenangkan juga berjalan-jalan di pasar seperti itu karena  bisa melihat hal-hal yang sudah bertahun-tahun tak pernah saya temui 
setelah bermukim 9 tahun di Jepang. Yang mengagumkan adalah kemampuan  dari agen perjalanan menjual pengalaman seperti ini ke turis2 asing,  dan juga bersedianya penduduk lokal untuk bekerjasama menyediakan 
lingkungan yang menarik untuk dijadikan lokasi wisata. Pedagang ikan  dengan ramah menyapa kami walaupun tahu bahwa tidak mungkin kami akan  beli ikan lele segar yang mereka jual. Penjual sesajen pun tidak 
keberatan ketika kami mengarahkan kamera ke wajah mereka. Seluruh  elemen sosial yg ada di pasar tradisional itu tampaknya bersepakat  untuk membuat kami senang.

Salah satu sudut pasar
Salah satu sudut pasar

 

Tujuan wisata kedua kami adalah sebuah air terjun yang lagi-lagi  sebenarnya adalah hal biasa bagi orang seperti saya. Sungai, hutan  kecil, dan jalan setapak adalah daerah yang tidak asing bagi saya yang  besar di daerah Tamalanrea di Makassar yang sebelah baratnya dahulu  adalah hutan bakau dan empang. Tapi bagi orang Jepang yg sehari-hari  hanya melihat sungai dengan tanggul tinggi dan bangunan beton,  pemandangan seperti ini mungkin memang berkesan. Yang berkesan bagi  saya hanyalah air terjun dengan ketinggian beberapa belas meter.  Berada di dekat dasar lembah memberikan perasaan nyaman yang tak akan  pernah tergantikan oleh keindahan artifisial buatan manusia.

Air Terjun
Air Terjun Haew Narok

Tempat berikutnya kami diantar ke daerah pedalaman yg masih hijau  sambil menyusuri jalan kampung di pinggiran gunung. Ternyata menu  wisata selanjutnya adalah naik gerobak yang ditarik oleh sapi. Enam  ekor sapi dan tiga gerobak beserta kusirnya sudah menunggu kedatangan  kami. Dengan formasi 3-3-4, kami bergerak perlahan menerobos jalan  setapak dan hamparan sawah. Sesekali kami bertemu kawanan kerbau yang  digembala oleh penduduk lokal. Menu wisata ini seperti menu sebelumnya  juga bukanlah hal yang unik karena saya besar di daerah pinggiran kota  yang dulunya adalah perkampungan dengan sawah membentang dan kerbau  yang dipelihara di pekarangan rumah. Tapi terakhir kali tinggal di rumah di Makassar, sawah dekat rumah  saya sudah berubah bentuk menjadi perumahan yang padat dan kerbau di  rumah2 tetangga saya sudah berganti menjadi motor bebek. Perjalanan menyusuri sawah dengan gerobak sapi itu menjadi ajang  nostalgia masa kecil yang menyenangkan. Para Jepang-jepang itu juga  terlihat sangat menikmati menu wisata ini. Setelah gerobak sapi, kami akhirnya berpacu menuju lokasi terakhir  dari menu wisata kami, naik gajah.

Gerobak Sapi
Gerobak Sapi

Sebelum naik gajah terlebih dahulu kami disuguhi makan siang dengan  menu yang lezat ala Thailand. Ada tom yam kun dengan udang dan kerang,  kangkung tumis pedes, ayam goreng bumbu asam manis, dan harumaki 
goreng berisi udang. Pengelola tempat wisata itu cukup pintar dengan  tidak menyajikan makanan dari daging yang sekiranya tidak boleh  dikonsumsi oleh wisatawan asing yaitu babi dan daging sapi. Mungkin  mereka sudah cukup mengerti tentang kemauan wisatawan muslim dan hindu. Setelah istirahat 30 menitan, kami akhirnya menuju pangkalan gajah  yang terletak di belakang warung makan itu. Saya naik gajah bernama  Moa bersama teman seperusahaan saya, Takayuki-kun.

Saya dan Moa
Saya dan Moa
Menyusuri sungai
Menyusuri sungai
Moa lagi pamer belalai
Moa lagi pamer belalai

Sebagai pengalaman  pertama mengendarai hewan darat terbesar itu, saya sangat exciting  bagaikan anak kecil yang ketemu mainan baru. Rute yang kami tempuh melewati hutan yang cukup lebat dan sungai yang 
cukup dalam. Saya dan Taka beruntung karena kami dipandu oleh pawang  yang kelihatannya paling senior dan paling mampu mengendalikan gajah.  Beberapa kali si Bapak tua itu menyuruh gajah untuk berpose ketika si 
Bapak mengarahkan kamera ke kami. Beliau juga dengan cekatan bisa  mengoperasikan kamera2 kami, tanpa kelihatan gaptek sedikitpun. Bahasa  Inggrisnya hanya sepatah kata tapi wajah ceria dan ketawa renyahnya 
membuat komunikasi tanpa kata terjalin dengan baik. Setelah acara  nunggang gajah selesai, dengan cerdik mereka meminta kami para turis  untuk merogoh kantong 20 baht untuk menghadiahi gajah tunggangan kami 
setengah sisir pisang. 20 baht itu terhitung mahal dan saya menduga  harga pisang yg sebenarnya mungkin hanya sepersepuluh dari itu, tapi  karena kami betul-betul puas dengan pengalaman itu maka 20 baht 
(sekitar 6000 rupiah) terasa wajar.

Sekembali ke hotel kami istirahat 2 jam, waktu itu saya pergunakan  untuk meregangkan otot dengan berenang di kolam renang lantai 9, air di sore hari itu cukup dingin tapi menyegarkan kepenatan saya setelah berkeliling seharian.

Kami meninggalkan hotel  melalui jalan belakang hotel yang tembus ke taman kota yang diberi  nama Queen’s Park. Taman itu tampaknya dibangun untuk menghormati ratu  Thailand, tampak dari prasasti dan gambar2 besar yang dipajang untuk  mengagungkannya. Sebuah pengormatan yang berlebihan kalau menurut  pandangan saya pribadi. Kami menyusuri jalan2 malam sebelum akhirnya nongkrong di sebuah  warten (warung tenda) di sebuah lorong yang ramai oleh turis barat.  Dengan bermenu sayur tumis kangkung dan ikan bakar pakai sambel kami  bertiga menikmati makan malam. Dengan ditutup jus buah kami  meninggalkan warung itu, kedua teman Jepang kelihatan puas sambil  bergumam, yasui desu ne…(murah ya..) untuk menu makan malam kami  yang seharga sekitar 300 baht (skitar 100rb rupiah). Maklum untuk di  Jepang, dengan menu seperti itu kami mungkin harus membayar skitar 3 atau 4  kali lipat.

Setiba di hotel saya menghabiskan waktu dengan nonton TV dan menikmati  kue2 Kering Thailand sebelum akhirnya tertidur.

Hari Terakhir
Hari terakhir kami isi dengan jalan2 ke pusat perbelanjaan Siam, River city, dan terakhir adalah plaza Emporium. Awalnya kami naik BTS, kereta  andalan Bangkok. BTS tidak kalah dengan JR-nya Jepang, bahkan mungkin 
lebih bagus, bersih, dan nyaman. Setelah tiba di Siam, grup saya yang terdiri dari 3 orang berjalan kaki menuju River City yang menurut orang di jalan yang kami tanya hanya berjarak 5 menit dari stasiun Siam. Kami akhirnya naik kendaraan yang mirip bajaj yang disebut Tuk-tuk. Oleh pengemudi kami diantarkan ke lokasi pameran berlian, emas, dan batu mulia lainnya di pusat kota Bangkok. Setelah itu kami minta diantar kembali ke Siam.

Tuk-tuk
Tuk-tuk
BTS
BTS

Sehabis makan siang di lokasi perbelanjaan Siam, kami pulang ke hotel dan segera bergabung dengan anggota tur yang sudah bersiap di lobi hotel. Jam 16:30 kami meninggalkan hotel menuju lokasi pasar malam di daerah Lumphini. Setelah menghabiskan waktu 2 jam-an putar2 di pasar malam yang menjual barang2 cenderamata buat turis itu, kami akhirnya menuju tempat makan malam di tengah kota Bangkok. Sepanjang perjalanan kami disuguhi pemandangan malam kota turis yang mungkin teramai di Asia Tenggara itu. Yang terasa mencolok adalah banyaknya restoran, rumah makan, tempat pijat, dan hiburan yang menggunakan papan reklame bertuliskan bahasa Jepang, sehingga seakan-akan kami sedang berjalan-jalan di satu sudut kota di Jepang. Kami ketawa ngakak ketika bis melewati sebuah lokasi hiburan yang dengan pedenya memasang papan nama ARIMA ONSEN. Arima Onsen adalah sebuah pusat spa alam yang cukup luas dan sangat terkenal di Kobe. Orang yang tinggal di daerah Kansai, boleh dipastikan tahu tentang Arima Onsen, sehingga melihat papan nama yang terpampang di tengah padatnya kota itu terasa menggelikan.

Majunya pariwisata memang membawa banyak efek baik bagi ekonomi lokal, tapi sekaligus membawa efek jelek bagi sosial budaya masyarakat. Dengan banyaknya orang asing yang berbaur di tengah masyarakat, Bangkok seakan-akan menjadi sebuah kota tanpa identitas budaya yang khas. Satu sudut kota berubah menjadi kota Jepang kecil, sementara sudut kota lain berubah menjadi Eropa mini. Orang2 pribumi menjadi tenggelam oleh budaya yang masuk tanpa bisa dibendung. Sebuah dilema yang pasti akan dihadapi oleh sebuah kota atau negara yang mengandalkan pariwisata sebagai mesin uang. Saya menjadi miris melihat pemandangan yang terlihat sepanjang jalan sembari berharap semoga Makassar tidak menjadi seperti ini.

Kami tiba di sebuah restoran yang menyajikan makanan Jepang sebagai menu utamanya. Mr.Kida (Presdir), Mr. Ronnie(direktur), dan Mr. Kravich(direktur) dari Mandom Thailand yang menyengajakan datang untuk menjamu kami malam itu sudah menunggu di ruangan khusus yang disewa untuk kami. Setelah basa-basi, acara akhirnya dimulai dan kami disuguhi menu berupa o-nabe. Yang membuat saya terharu dan sangat berterima kasih adalah panitia tur menyengajakan untuk meminta ke pihak restoran agar semua menu makanan yang disajikan malam itu bebas dari daging babi, padahal saya satu-satunya muslim di antara 37 orang yang menikmati makan malam itu. Jamuan makan malam itu berakhir dengan agak cepat karena kami harus bergegas menuju bandara.

Sekitar sejam kemudian kami tiba di bandara Suvarnabhumi dan langsung takjub dengan pemandangan di depan mata kami. Bandara Suvarnabhumi malam itu bagaikan diselimuti oleh jutaan malaikat. Bandara yang ketika kami datang penuh oleh turis-turis Jepang dan barat, malam itu penuh dengan rombongan jamaah haji dan keluarga yang mengantar. Serasa lantunan talbiyah terdengar samar-samar padahal suasana bising itu terisi oleh percakapan manusia yang mungkin mencapai ribuan jumlahnya itu, labbaikallahumma labbaik, labbaika laa syariikalaka labbaik, innal hamda wanni’mata laka walmulk laa syariika laka labbaik. Bulu kuduk saya merinding merindukan suasana syahdu yang seakan di depan mata saya.

Malam itu kami meninggalkan Bangkok. Saya masih terpekur di kursi pesawat mengingat rombongan jamaah haji di bandara. Ya Allah, kapan Engkau memanggilku mengunjungi tanah sucimu….

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.