Jika sudah begini, lantas bagaimana?

Pada awal Desember tahun lalu sebuah email masuk ke kotak surat saya, email tersebut dikirimkan oleh seorang kenalan yang berkecimpung di bidang marketing di Osaka. Beliau menjabat sebagai manajer di perusahaan consulting marketing yang menangani banyak klien yang usahanya berhubungan dengan negara-negara Asia.

Email itu terkirim sebagai komentar pada sebuah artikel yang termuat di Yomiuri shinbun 5 Desember lalu yang membahas tentang tragisnya nasib kenshusei Indonesia yang bekerja di Higashi Nihon Textile (http://www.yomiuri.co.jp/national/news/20061204i505.htm ).

Di artikel itu diberitakan tentang peraturan perusahaan yang memberikan batasan bagi kenshusei asal Indonesia berupa larangan mempunyai HP, pulang ke asrama lewat dari jam 9 malam, bepergian menggunakan alat transportasi umum, mengirim uang kepada keluarga di Indonesia, dan yang paling mencolok adalah larangan melakukan segala ritual ibadah di dalam lingkungan perusahaan.
Pada kenyataannya, kalau dilihat secara sepintas perusahaan-perusahaan Jepang memang banyak yang dimanja oleh peraturan yang lebih menguntungkan perusahaan dibandingkan karyawan, belum lagi adat dan kebiasaan kerja yang berlaku secara umum walaupun tidak ada hukum yang tertulis. Contohnya, ada istilah sa-bisu sangyou atau lembur sukarela, yang berarti lembur dilakukan atas kemauan karyawan sendiri dan perusahaan tidak perlu membayarnya. Lembur sukarela ini biasanya dilakukan oleh karyawan-karyawan yang baru masuk dan masih dalam tahap adaptasi, katanya tidak sedikit dari mereka yang melakukannya karena terpaksa, sebab tidak ingin dicap sebagai pemalas di masa awal karir.
Contoh lain adalah aturan yang memotong gaji karyawan kalau telat beberapa detik dari jam masuk, sementara itu perusahaan tidak akan membayar lembur kalau hitungannya belum cukup 30 menit. Dan masih banyak lagi yang lainnya.

Peraturan dan norma kerja yang berlaku dalam masyarakat Jepang menyebabkan perusahaan-perusahaan Jepang secara kasat mata sebenarnya banyak melakukan penindasan terselubung, yang secara umum bisa diterima oleh para karyawan. Yang menjadi masalah adalah ketika norma-norma itu juga diterapkan kepada tenaga kerja asing yang tentu saja banyak berbeda pemahamannya tentang norma yang berlaku.

Kenalan saya itu secara umum setuju bahwa memang peraturan ketenagakerjaan di Jepang lebih banyak menguntungkan perusahaan ketimbang karyawan, tapi yang menarik adalah beliau juga mencoba melihatnya dari sudut pandang pengusaha Jepang. Beliau memperkirakan bahwa peraturan yang dibuat oleh Higashi Nihon Textile itu tentu bukan karena kebetulan. Mungkin saja, menurut beliau, peraturan itu dibuat sebagai hasil pembelajaran dari berbagai kejadian di masa lalu. Istilah kita “tidak ada asap kalau tak ada api”.

Beliau memperkirakan pada awalnya kenshusei itu diberi kebebasan tapi kemudian kenshusei terlena dan menggunakan kebebasan itu hingga kebablasan. Sebagai akibatnya perusahaan menerapkan peraturan yang ketat agar supaya peristiwa seperti itu tidak terjadi lagi. Beliau bahkan menambahkan bahwa menurut cerita seorang teman beliau yang juga sering menangani proses penanaman modal asing di negara-negara Asia, ada banyak perusahaan multi nasional Jepang yang mengurungkan niat ekspansi di negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, disebabkan oleh hasil riset yang menunjukkan susahnya penetrasi budaya perusahaan tersebut ke dalam jajaran karyawan di negara target.

Karena beliau meminta pendapat saya sebagai orang Indonesia dan sebagai seorang mantan kenshusei, maka saya berusaha membalasnya tapi dengan menekankan bahwa sebagai seorang mantan kenshusei maka pendapat saya akan cenderung berpihak ke kenshusei.
Menurut saya pribadi, permasalahan seperti ini seyogyanya ditempatkan dalam kerangka kesepakatan yang disetujui oleh kedua belah pihak sebelum proses rekrutmen dilakukan. Akan tetapi dengan catatan bahwa semestinya kesepakatan yang dibuat itu tidak melukai hak asasi pihak manapun sebagai seorang manusia. Saya berusaha menerangkan bahwa di Indonesia, kebebasan memeluk dan menjalankan agama berdasarkan keyakinannya adalah sebuah hak asasi yang harus dihormati dan tercantum dengan jelas dalam Undang Undang Dasar yang sepakat dipakai oleh rakyat ketika mendirikan Negara Republik Indonesia. Sementara itu di Jepang kebebasan memeluk agama dan menjalankan agama mungkin tidak diposisikan sebagai hak asasi manusia (saya menggunakan kata “mungkin” karena saya pun tak tahu apakah hal itu diatur dalam Nihonkoku kenpou (Undang Undang Dasar Negara Jepang). Perbedaan pemahaman inilah yang mengakibatkan ketidaksamaan penempatan kebebasan beragama dalam ruang lingkup perusahaan, sebagai akibatnya perusahaan Jepang merasa punya hak melarang karyawannya beribadah di dalam lingkungan perusahaan karena mungkin dianggap kegiatan ibadah itu akan mengganggu aktifitas pekerjaan. Hal ini tentu saja sangat berbeda dengan perusahaan-perusahaan di Indonesia yang tentu saja tidak akan berani melakukan hal tersebut. Selanjutnya saya pun menambahkan bahwa, jika perusahaan Jepang tidak mampu melakukan adaptasi terhadap adat dan kebiasaan lokal di Negara tujuan, maka sudah pasti perusahaan yang bersangkutan akan gagal dalam ekspansinya, tidak perduli Negara manapun yang dituju.
Sebenarnya secara terus terang ingin saya katakan, tidak usah datang ke Indonesia kalau tidak mau mengerti norma-norma masyarakat Indonesia, tapi khawatir kalau Indonesia makin dijauhi oleh investor Jepang, maka saya menahan diri dari menulis kata-kata itu  Saya hanya menekankan bahwa untuk bergerak di habitat berbeda, seharusnya seseorang ataupun sebuah perusahaan harus bisa teguh memegang prinsipnya sendiri tapi sembari melakukan adaptasi dengan lingkungan lokalnya. Adaptasi ini mutlak selama tidak bertabrakan dengan prinsip pribadi atau perusahaan. Di email itu saya tuliskan bahwa mungkin kenshusei di Higashi Nihon Textile itu menganggap bahwa larangan perusahaan itu sudah vis-à-vis dengan prinsip pribadi mereka sehingga terjadi penolakan yang berujung pada bocornya permasalahan itu ke pers.

Balasan email itu saya tulis dengan cukup asem karena yang bersangkutan adalah orang Jepang. Dengan menulis seperti itu ada harapan bahwa cara pandang yang berbeda seharusnya bisa diambil oleh orang-orang Jepang ketika berhubungan dengan orang Indonesia, jadi tidak melulu menyalahkan orang-orang kita yang pada umumnya berada pada posisi sulit karena tidak punya banyak pilihan.
Akan tetapi, jika ingin melihatnya dalam perspektif yang menyeluruh, maka memang seharusnya kita memandang permasalahan ini dari sudut pandang dua pihak. Artinya, kalau kita menginginkan orang Jepang melihat problema ini dari sudut pandang kita, maka seharusnya kita pun harus bersedia melihatnya dari sudut pandang mereka.Dengan begitu akan ada keseimbangan yang adil.

Sebelum membahas berbagai larangan yang diterapkan bagi kenshusei di Higashi Nihon Textile itu, mari kita bahas sedikit tentang posisi kenshusei Indonesia.

Sejak setahun yang lalu arubaito sebagai penerjemah di IMM Osaka, saya beberapa kali menyelesaikan surat pernyataan yang harus dibuat oleh kenshusei sehubungan dengan urusan hukum kriminal, asuransi, pekerjaan, atau mangkir dari kewajiban dalam berbagai bentuk. Pada hakikatnya para kenshusei asing yang datang ke Jepang secara hukum adalah tanggungan perusahaan karena sebelum mendatangkan mereka perusahaan harus menandatangani sebuah surat pernyataan tanggungan terhadap yang bersangkutan. Hal ini menyebabkan segala tuntutan hukum yang ditujukan kepada kenshusei jika tidak sanggup ditanggung oleh yang bersangkutan maka beberapa bagian bisa ditodongkan kepada perusahaan atau pimpinan perusahaan, sistem ini disebut hoshou seido atau “sistem jaminan”. Setiap tahun ada banyak orang Jepang yang tadinya makmur sejahtera, tiba-tiba jatuh bangkrut karena mereka terlalu baik hati menjadi penjamin system rentai-hoshounin ( http://ja.wikipedia.org/wiki/%E4%BF%9D%E8%A8%BC%E4%BA%BA ) bagi keluarga atau kenalan yang tahu-tahu ditagih karena utang segunung, dan karena yang dijamin itu tidak sanggup membayarnya maka secara otomatis penjaminlah yang harus menanggung utang itu, walaupun harus menjual harta pribadi dan jatuh miskin tiba-tiba. Itulah sebabnya tidak sembarangan orang Jepang bersedia menjadi penjamin terhadap orang lain, karena efeknya menyangkut urusan seumur hidup.
Adapun dalam kasus kenshusei, walaupun perusahaan hanya menjadi penjamin biasa (bukan rentai hoshounin) yang berarti tidak semua urusan hukum bisa disangkutpautkan kepada mereka, tetap saja perusahaanlah yang menjadi tempat pertama polisi datang kalau kenshusei tersangkut masalah hukum. Kalaupun tidak kebagian tanggung jawabnya, paling tidak mereka akan merasa dipermalukan dengan hal tersebut. Lantas kenapa perusahaan atau pimpinan perusahaan mau menanggung kenshusei? Jawabannya sederhana, karena mereka butuh pegawai yang bisa digaji dengan jumlah yang lebih rendah dibandingkan orang Jepang dan kualitas kerjanya diharapkan sama dengan orang Jepang.
Dengan memahami sistem jaminan ini, kita bisa mengerti kenapa orang Jepang begitu takut kalau kenshusei yang bekerja di perusahaannya tersangkut urusan kriminal, kabur dan menjadi pekerja illegal, atau menunggak bayaran HP. Kalaupun tak kebagian tanggung jawabnya, mereka akan kebagian malunya karena didatangi oleh pihak imigrasi, debt collector dari perusahaan telpon, atau mungkin juga polisi.

Larangan mempunyai HP

Di antara kasus-kasus yang ditimbulkan oleh kenshusei yang masuk di kantor IMM Osaka yang pernah saya bantu terjemahannya, yang paling mencolok dalam hal yang ada sangkut pautnya dengan kewajiban finansial kenshusei, adalah tunggakan HP. Pernah ada kenshusei yang menunggak bayaran HP dengan jumlah fantastis karena lebih besar dari penghasilannya sebulan. Tagihan itu akhirnya dibayarkan dulu oleh perusahaan dan dicicil oleh kenshusei tersebut setiap bulannya selama 10 bulanan. Semasa kenshusei dulu saya juga pernah mempunyai teman yang setengah gajinya sebulan habis buat membayar Docomo. Masih untung dia mampu membayar dengan gajinya sehingga tidak mempermalukan diri sendiri dengan meminta bantuan perusahaan.
Mungkin di Higashi Nihon itu pernah ada kasus yang seperti ini ataukah petinggi perusahaan itu memperoleh berita tentang kejadian serupa di perusahaan lain, lantas memberlakukan larangan mempunyai HP. Atau mungkin juga ini adalah salah satu cara perusahaan mensterilkan kenshuseinya dari pengaruh dunia luar berupa ajakan untuk menjadi pekerja ilegal yang memang mudah datang jika kenshusei mempunyai HP, karena bisa dihubungi oleh siapa saja, termasuk broker pekerja gelap.
Saya pribadi yakin bahwa apapun latar belakangnya, larangan ini sebenarnya dimaksudkan untuk sesuatu yang positif. Hanya saja memang betul bahwa di masa informasi bebas sekarang ini, larangan seperti ini menjadi hal yang mengherankan dan menggeramkan, karena secara langsung memasuki hak pribadi seorang manusia untuk memperoleh informasi yang diinginkannya. Bagi kita orang Indonesia yang baru saja lepas dari kungkungan kebebasan selama puluhan tahun, larangan ini seperti mimpi buruk di masa orde baru  Tidak ada kepercayaan, tiada kebebasan.

Larangan keluar dengan kendaraan umum dan jam malam di asrama
Sama seperti larangan mempunyai HP, larangan keluar dengan transportasi umum dan kewajiban pulang ke asrama sebelum jam 9 juga sepertinya bertujuan untuk sterilisasi kenshusei. Tapi lagi-lagi, larangan ini pun melukai hak asasi secara langsung karena kenshusei bukan lagi anak-anak yang mesti diatur jam malamnya, semua kenshusei di perusahaan itu adalah manusia dewasa yang seharusnya bebas melakukan apa pun selama tidak melanggar hukum dan aturan yang berlaku.

Saya pribadi menduga ada sebuah kekhawatiran dari pihak perusahaan kalau-kalau kenshuseinya bakal terpengaruh oleh gemerlap dunia malam Jepang lantas beralih profesi menjadi pekerja malam ilegal (kenshusei di Higashi Nihon Textile adalah wanita). Mungkin perusahaan berharap dengan diberlakukannya larangan ini, para kenshusei itu bisa dikontrol dengan siapa, dan di mana mereka menghabiskan waktu senggangnya. Jika sebelumnya memang pernah terjadi hal semacam ini, maka penerapan peraturan ini sedikit banyak bisa dipahami, akan tetapi jika hal tersebut belum pernah terjadi maka ini tentu suatu apriori yang berlebihan.

Larangan mengirim uang kepada keluarga di Indonesia
Entah apa maksud dari larangan ini, tapi yang jelas, pasti ada latar belakangnya. Akan tetapi apa pun latar belakangnya, secara sepintas ini jelas-jelas sangat aneh. Tujuan utama para kenshusei datang ke Jepang adalah untuk mencari nafkah, baik itu untuk diri sendiri maupun untuk keluarga, dan pihak perusahaan pun pasti tahu betul hal tersebut sehingga larangan ini jelas menimbulkan tanda tanya besar.

Larangan beribadah di lingkungan perusahaan

Semenjak terjadinya peristiwa 911 di Amerika, media Jepang banyak sekali memfokuskan perhatian pada dunia Islam, baik dengan cara pandang yang seimbang ataupun cenderung miring kepada media Amerika yang menyudutkan Islam dan muslim. Pengaruh media ini banyak sekali berperan dalam menimbulkan imej Islam dan muslim dalam masyarakat Jepang. Sebagian memang menjadi tertarik dan penasaran tentang apa dan bagaimana Islam itu, tapi boleh dikata kebanyakan menjadi apriori terhadap Islam dan muslim. Di universitas tempat saya belajar, sudah ada beberapa mata kuliah yang mencoba membahas tentang masyarakat Islam, namun sayang sekali kebanyakan memandang dengan rasa takut sebab menyamakan muslim dengan orang-orang berangas yang katanya muslim dan menebar terror di Amerika dan negara-negara Eropa.
Islam sama dengan terorisme! demikian imej yang banyak tercipta. Mereka tidak begitu perduli untuk mengingat bahwa Islam bukan hanya arab. Mereka juga tidak begitu perduli mencari tahu latar belakang kenapa muslim begitu membenci Israel dengan segala perbuatan biadabnya terhadap bangsa Palestina. Atau mencari tahu kenapa Amerika (pemerintahan Bush) dengan semua arogansinya begitu dibenci oleh dunia Islam, mereka tidak begitu perduli dengan latar belakang semua kejadian-kejadian itu. Yang mereka tahu dari media massa adalah, yang menghancurkan bangunan WTC itu orang arab muslim. Yang mereka paham adalah yang merakit bom TNT dan meledakkan Legian Bali itu adalah muslim, dan lain sebagainya. Mungkin, sekali lagi mungkin, kesimpulan sederhana mereka, muslim adalah orang yang berbahaya.
Dengan berlatar belakang informasi yang sangat terbatas dan cenderung diarahkan kepada satu pendapat ini, adalah hal yang mudah dimengerti kenapa sebuah perusahaan (baca:pemilik dan karyawan) Higashi Nihon Textile menjadi apriori terhadap muslim. Mungkin mereka mengira bahwa kegiatan-kegiatan keagamaan dalam Islam itu berisi ajakan-ajakan untuk melakukan aktivitas seperti kelakuan para terorisme yang membawa nama Islam itu.
Selain itu, ada kemungkinan larangan itu adalah sebuah bentuk tindakan preventif yang mereka lakukan agar supaya kenshusei mereka tidak melakukan kegiatan keagamaan seperti pengajian di dalam lingkungan perusahaan.
Berdasarkan pengalaman pribadi, larangan berkumpul ini biasanya bukan sebuah bentuk intimidasi bermotif agama. Larangan ini biasanya merupakan reaksi dari masyarakat Jepang yang cenderung tenang dan bersifat individualis terhadap kebiasaan kita yang kalau berkumpul biasanya sering berisik dan mengganggu ketenangan masyarakat sekitar. Mereka memang tidak terbiasa melihat orang-orang datang berkumpul di kediaman seseorang kecuali jika ada kematian, perkawinan, atau peristiwa besar. Reaksi negatif ini diperparah oleh kebiasaan kebanyakan dari masyarakat kita yang seringkali betul-betul tidak tahu malu, teriak-teriak rebut mengganggu tetangga. Bagi perusahaan, keributan yang ditimbulkan oleh berkumpulnya kenshusei di dalam lokasi perusahaan (pabrik atau asrama) adalah sebuah hal yang memalukan dan biasanya harus ditebus dengan kunjungan ke masyarakat sekitar untuk meminta maaf secara langsung.

Pencegahan dan Solusi

1. Pencegahan

Lantas bagaimana menyelesaikan permasalahan seperti ini? Jawabannya tidak sederhana dan tidak akan ada metode yang seragam sebab masing-masing perusahaan mempunyai kultur yang berbeda. Tapi sebelum perusahaan memberlakukan peraturan yang membuat kebanyakan orang Indonesia mengernyitkan alis, sebagai kenshusei kita bisa mencegah hal tersebut terjadi.

Berikut ini adalah beberapa hal yang mungkin bisa kita perhatikan.

#1 Kalau anda muslim, jadilah muslim yang benar

Sebagai muslim, sebenarnya kita sudah dilengkapi dengan berbagai macam aturan yang jelas sekali di dalam berinteraksi dengan masyarakat sekitar yang kalau diikuti dengan benar, seharusnya tidak akan terjadi kekhawatiran yang berlebihan terhadap kita. Berikut ini adalah hal-hal yang harus kita garisbawahi.

– Anjuran bersikap baik terhadap tetangga

Dalam sebuah haditsnya Rasulullah SAW bersabda “izaa tabakhta maraqatan fa aktsir maaha wa ta’ahaad jiiraanaka” (kalau kamu membuat sayur, maka perbanyaklah kuahnya dan perhatikanlah tetanggamu).
Dalam hadits ini, sikap baik itu dicontohkan dengan sesuatu yang sangat pribadi dalam kehidupan berkeluarga yaitu masakan. Bau masakan kita yang menyeberang ke rumah sebelah membawa konsekuensi kepada kita untuk berbagi kelezatan itu, artinya kalau sudah berbagi baunya, maka sebaiknya juga berbagi masakannya. Dari poin ini saja kita bisa menelaah bagaimana Rasulullah SAW menekankan hubungan dengan tetangga itu semestinya dipelihara. Jangankan gangguan tak menyenangkan seperti suara berisik, gangguan yang mungkin menyenangkan seperti bau masakan pun harus ditindaklanjuti supaya tidak menimbulkan perasaan tidak senang dari tetangga kita. Rasulullah SAW dengan jelas mengancam umatnya dengan hadits “Laa yadkhulul jannata man laa ya’manu jaaruhu bawaaiqahu (HR Bukhari Muslim), artinya “tak akan masuk sorga, orang yang tetangganya tidak merasa aman dari kejahatannya”.
Dengan menunjukkan akhlak sosial yang baik, maka insya Allah masyarakat Jepang sekitar kita tidak akan apriori terhadap orang muslim.

–Taati peraturan yang berlaku

Dalam hadits Nabi SAW ada pernyataan yang berbunyi “Man athoaniy faqad athoallah, wa man ashouniy faqad ashoullah. Wa man yuthiil amiira faqad athoaniy, wa man ya’shil amiira faqad ashoniy” (HR Bukhari Muslim), yang artinya “Barang siapa taat padaku maka berarti ia taat kepada Allah, dan barangsiapa ingkar padaku berarti ia ingkar pada Allah. Dan barangsiapa taat pada amir (penguasa,pemimpin) maka berarti ia telah taat kepadaku, dan barangsiapa ingkar pada amir maka ia ingkar padaku”. Walaupun ada ulama yang mendefinisikan amir itu hanya terbatas pada pemerintah yang Islami, tapi ada juga yang mendefinisikannya sebagai semua jenis pemerintah selama peraturan yang ada tidak menghalangi ketaatan kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW. Saya pribadi cenderung membenarkan pendapat yang kedua, karena seperti dalam kasus seperti kita yang muslim dan tinggal di negara orang musyrik seperti Jepang, sebagai pendatang sudah sewajarnya kita wajib mentaati penguasa yang berarti mentaati peraturan yang mereka buat dan berlaku secara nasional, daerah, ataupun ruang lingkup aktifitas kita, baik sebagai pekerja, mahasiswa, dll selama tidak menghalangi ketaatan kita kepada Allah dan Rasul-Nya.
Dengan taat peraturan ini, baik yang ringan-ringan seperti buang sampah, hingga yang berat-berat seperti masalah imigrasi, dll maka insya Allah kecurigaan yang berlebihan akan hilang dengan sendirinya.

#2 Jangan memulai kesalahan baru dan jangan mengulang kesalahan lama

Masyarakat Jepang terbentuk dari kultur yang pernah tertutup dan terkucil selama bertahun-tahun, lalu kemudian maju dan berkembang dengan banyak belajar dari dunia barat. Baik politik, teknologi dan ilmu ekonominya kebanyakan pada awalnya bersumber dari Amerika dan Eropa, sebagai akibatnya mereka sangat menghargai orang Eropa dan Amerika, dan sebaliknya cenderung memandang rendah orang Asia lain.
Walaupun Jepang itu adalah bagian dari benua Asia, sebenarnya mereka secara tersirat tidak mengakuinya. Hal ini bisa dilihat dari misalnya kebiasaan mereka menyebut orang Cina, Mongol, dan orang asia lain dengan “ajia jin” (orang Asia), padahal mereka sendiri adalah orang Asia.
Dengan posisi yang memandang ke bawah ini, mereka punya kecenderungan untuk membuat stereotype orang-orang Asia lainnya. Sehingga kalau ada kenshusei yang dulunya membuat kesalahan lantas kesalahan itu diulang lagi kohainya, maka akan keluar kata-kata “yappari Indonesia jin” (dasar orang Indonesia !) atau “yappari ajia jin” (dasar orang Asia!).
Jika mereka sudah terlanjur membuat stereotype yang negatif, maka jangan kaget kalau mereka akan membuat peraturan yang ketat dengan alasan untuk mencegah kesalahan yang sama terjadi, padahal belum tentu peraturan itu perlu diterapkan pada semua orang Indonesia. Seperti kata nenek, rambut boleh sama hitam, tapi isi kepala siapa yang tahu.
Jadi, tipsnya adalah, cegah sebelum mereka membuat stereotype negatif terhadap orang Indonesia. Jangan membuat kesalahan yang belum pernah dilakukan oleh orang-orang sebelum anda, dan sebisa mungkin jangan mengulang kesalahan senpai-senpai anda dulu.

2. Solusi

Lalu bagaimana kalau sudah tercipta peraturan seperti pada kasus Higashi Nihon Textile ini? Berikut ini adalah langkah-langkah yang bisa kita jalankan.

#1 Selesaikan sendiri

Perusahaan adalah seperti sebuah keluarga, ada yang berposisi sebagai Bapak, Ibu, paman, anak, dll. Coba bayangkan kalau misalnya di keluarga anda ada masalah, apakah anda akan langsung meminta bantuan pengacara untuk menyelesaikannya? Tentu tidak bukan? Saya yakin anda akan berusaha menyelesaikannya secara internal, mungkin anda akan bicara langsung kepada Bapak anda, atau berbicara kepada Ibu, atau kakak, atau siapa saja yang terdekat dalam keluarga. Bisakah anda bayangkan bagaimana perasaan Bapak ketika anda mengadu ke pengacara karena anda dilarang pulang malam? Pasti akan ada ketersinggungan yang mendalam. Sebenarnya pihak perusahaan pun bersikap yang hampir sama dengan Bapak anda, terutama perusahaan kecil dan menengah karena jumlah pegawai yang sedikit dan struktur organisasi yang lebih sederhana, khususnya dalam perusahaan-perusahaan Jepang yang kebanyakan dibangun dengan nilai-nilai kekeluargaan.

Di dalam komunitas perusahaan Jepang ada sebutan uchi dan soto. Uchi berarti dalam dan soto berarti luar. Uchi melambangkan di dalam perusahaan, sedangkan soto melambangkan segala yang berada di luar perusahaan. Nilai ini berimplikasi luas, bahkan terhadap cara berbicara seseorang. Ketika seorang pegawai di kantor menerima telpon, maka mereka akan menggunakan istilah uchi untuk menunjukkan posisinya yang berbicara mewakili nama perusahaan. Ketika seorang pegawai berbicara dengan anda dalam suasana akrab dan menyebut perusahaan dengan sebutan uchi no kaisha, itu menunjukkan dia sudah menganggap anda sebagai bagian dari perusahaan. Tapi ketika pembicaraan diadakan dengan posisi anda berlawanan dengan pihak perusahaan, misalnya re-negosiasi gaji, maka bisa jadi penyebutan uchi adalah salah satu cara menegaskan posisi anda yang dianggap sebagai orang luar karena hanya karyawan sementara 3 tahun, bukan karyawan tetap.

Dalam system komunitas seperti ini masuknya orang soto untuk menyelesaikan masalah uchi adalah sebuah penyerangan langsung terhadap komunitas tersebut, dan besar kemungkinan akan menyebabkan ketersinggungan yang parah. Oleh karena itulah, jika anda menghadapi perselisihan dengan perusahaan, cara penyelesaian yang terbaik adalah anda sendiri yang mencoba negosiasi dengan pihak yang bertanggung jawab, urutannya mulailah dari orang yang paling terdekat seperti seikatsu shidou-in (pembimbing kehidupan di perusahaan), jika tak kunjung beres maka ke bucho atau sacho secara langsung. Ragu dengan kemampuan bahasa Jepang anda? Jangan segan-segan menghubungi mahasiswa Indonesia terdekat di tempat anda karena di dalam tubuh PPI Jepang ada komite yang disebut komite trainee yang memang tugasnya membantu memfasilitasi teman-teman kenshusei jika menghadapi masalah seperti ini. Ragu dengan kemampuan mahasiswa? Kontaklah KJRI atau KBRI, carilah staf yang bisa membantu anda sebagai penerjemah ketika berhadapan dengan pihak perusahaan. Tapi, ingat, anda harus memberitahu pihak perusahaan bahwa posisi mahasiswa atau staf KJRI/KBRI itu hanya sebagai penerjemah, bukan sebagai negosiator. Anda sendiri yang harus bernegosiasi untuk kepentingan anda, dengan demikian perusahaan tidak merasa ditekan oleh pihak manapun sehingga insya Allah bisa mempertimbangkan hal-hal yang lebih baik.

Jika dengan negosiasi sendiri anda tidak bisa mencapai kata sepakat, barulah mempertimbangkan langkah selanjutnya.

# 2 Minta bantuan legal dari pihak KJRI/KBRI

Jika pihak perusahaan bersikukuh dengan ketentuan yang sangat merugikan dan negosiasi anda juga tidak mempan, maka segeralah hubungi pihak KJRI atau KBRI untuk memperjuangkan hak anda. Telpon ke KJRI/KBRI dan katakan bahwa anda adalah kenshusei yang menghadapi masalah dengan perusahaan dan ingin konsultasi. Ceritakan detail permasalahan anda dan tanyakanlah nama staf yang bisa anda hubungi lagi untuk tindak lanjut, biasanya mereka sudah tahu apa yang mesti dilakukan.

# 3 LSM atau serikat pekerja

Jika ternyata memang KJRI/KBRI menelantarkan kasus anda, barulah anda bisa menimbang-nimbang untuk meminta bantuan legal ke LSM atau serikat pekerja terdekat di lokasi anda. Cari informasi di forum-forum kenshusei via internet seperti http://forum.anaknegri.com, http://iptij.org, atau website Persatuan Pelajar Indonesia http://ppi-jepang.org. Jika belum terpaksa sekali, janganlah mengambil langkah ini karena menimbulkan reaksi sangat negatif dari pihak perusahaan.

#4 Media massa

Langkah terakhir ini ditempuh jika ternyata kasus anda hanya bisa diselesaikan dengan langkah nomor #3 di atas. Sebenarnya media massa tidak punya kekuatan apa-apa dalam memaksakan sebuah tuntutan, tapi kekuatan media massa bisa membuat pihak-pihak yang terkait terpaksa menolehkan wajah kepada anda. Salah satu kelemahan terbesar dari langkah ini adalah reaksi dari perusahaan yang bisa diprediksi akan sangat negatif. Bisa jadi setelah ada kasus tentang perusahaan yang dimuat di koran atau media massa lain sehubungan dengan kasus kenshusei orang Indonesia maka akan mereka akan berhenti merekrut orang Indonesia dan berpaling kepada negara lain.

Penutup

Sebagai kenshusei, satu hal yang jangan anda lupa adalah sebelum datang ke Jepang anda sudah menandatangani perjanjian kerja, sebagai seorang Indonesia yang baik seyogyanya anda mentaati kesepakatan yang telah dibuat. Oleh karena itu langkah pencegahan yang terbaik supaya tidak terjadi benturan antara anda dan perusahaan adalah seharusnya anda telah memahami isi perjanjian sebelum anda tandatangan, jangan menandatangani sebuah perjanjian yang tidak anda mengerti isinya.
Yayasan yang mengirimkan kenshusei juga seharusnya bersikap transparan dalam hal perjanjian kerja, yang bisa ditempuh antara lain dengan selalu membuat dokumen dalam dua bahasa yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Jepang.
Jika pun ternyata anda merasa tertipu atau terperdaya, maka berjuanglah demi nasib anda, dan juga demi nasib kohai-kohai anda.
Perusahaan Jepang yang nakal dan merugikan karyawannya tidak sepantasnya mempekerjakan anda-anda sekalian, putra-putri Indonesia pilihan.
Ganbarimashou…..

3 thoughts on “Jika sudah begini, lantas bagaimana?

  1. Saya setuju dengan pendapat mas Arif Tamu, pada dasarnya memang semua itu karena kurangnya saling memahami antara perusahaan dan karyawan (kenshusei).

    terlebih lagi, memang banyak kenshisei yang kurang bisa memberi kesan baik tentang orang indonesia pada orang jepang.
    padahal hanya orang2 ′berdisiplin tinggi′ yang bisa masuk kenshu, kalau mereka kayak gitu, apalagi yang di rumah? barangkali begitu:D).

  2. Ass. wr. wb.
    Hajimemasite, saya termasuk salah seorang kenshusei, sudah 1,5 tahun lebih berada di Jepang yaitu di Nagano. Kebetulan nama kita sama. Ada beberapa poin yang ingin saya sampaikan di sini, berdasarkan pengalaman yang saya alami:
    – Bahasa adalah salah satu faktor utama sulit terselesaikannya setiap permasalahan yang timbul.
    – Perbedaan kultur yang tajam, orang Jepang sulit memahami sifat orang Indonesia, dan sebaliknya.
    – Memang tidak semua kenshusei Indonesia itu baik, ada juga yang memang dari Indonesia sudah mempunyai rencana kabur, inginnya kerja enak gaji besar,dsb.
    – Tidak semua perusahaan/orang Jepang itu baik, ada juga yang tidak baik.
    – Sifat tidak baik yang ditunjukkan kenshusei menimbulkan imej buruk bagi orang Jepang ke semua orang Indonesia. Seperti buang sampah, puntung rokok sembarangan, menyetel musik keras-keras, naik densha maunya gratis, nongkrong-nongkrong sambil membuat gaduh di tempat umum, apato yang jorok karena tidak dijaga kebersihannya, dsb.
    – Posisi perusahaan memang dominan, keberadaan kenshusei di perusahaan mutlak tergantung dari pihak perusahaan.
    Dari beberapa hal tersebut, timbulnya pergesekan antara kenshusei dan pihak perusahaan/orang Jepang memang sulit dihindari. Mencari solusinya menurut saya dimulai dari pihak kita dan yayasan. Tunjukkan etos kerja yang baik, dewasa dalam berpikir dan bertindak, mempunyai target/tujuan yang jelas dalam mengikuti pemagangan. Bagi pihak yayasan, tidak asal mendapatkan klien dan mengirimkan kenshusei sebanyak-banyaknya. Pilihlah perusahaan yang sehat dan baik. Bila memang perusahaannya buruk, jangan kirim kenshusei ke sana. Ini juga demi kebaikan yayasan itu sendiri.
    Demikian,
    Wass. wr. wb.

Comments are closed.